Fasial Paralisis (Bell's Palsy)

Fasial Paralisis (Bell's Palsy) - Hallo sahabat askep, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Fasial Paralisis (Bell's Palsy), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perawat, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Fasial Paralisis (Bell's Palsy)
link : Fasial Paralisis (Bell's Palsy)

Baca juga


Fasial Paralisis (Bell's Palsy)


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

  1. Anatomi dan Fisiologi Saraf Fasial
Saraf fasialis juga merupakan saraf sensorik yang menghantarkan rasa pengecap dari lidah. Saraf ini terutama motorik untuk otot-otot mimik (pada wajah) dan kulit kepala. Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
  1. Serabut somato motorik
    Serabut somato motorik yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (nervus III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
  2. Serabut visero-motorik (parasimpatis)
    Serabut visero-motorik yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
  3. Serabut visero-sensorik
    Serabut visero-sensorik yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
  4. Serabut somato-sensorik
    Serabut somato-sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.


Nervus fasialis (Nervus VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis.

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.

Aferen otonom: mengantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga depanlidah. Sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum dan kemudian ke nukleus traktus solitarius.

Eferen otonom (parasimpatik eferen): datang dari nukleus salivatoriussuperior. Terletak di kaudal nukleus. Satu kelompok akson dari nukleusini, berpisah dari saraf fasilalis pada tingkat ganglion genikulatum dandiperjalanannya akan bercabang dua yaitu ke glandula lakrimalis dan glandula mukosa nasal. Kelompok akson lain akan berjalan terus kekaudal dan menyertai korda timpani serta saraf lingualis ke ganglionsubmandibularis. Dari sana, impuls berjalan ke glandula sublingualis dan submandibularis , dimana impuls merangsang salivasi.

Aferen somatik: rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) darisebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus.Daerah overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf atau tumpangtindih) ini terdapat di lidah, palatum, meatus akustikus eksterna, danbagian luar membran timpani.

  1. Definisi Fasial Paralisis
Kelumpuhan wajah adalah hilangnya gerakan wajah karena kerusakan saraf. Otot-otot wajah terkulai atau menjadi lemah. Ini biasanya terjadi pada salah satu sisi wajah, tapi juga memungkinkan untuk terjadi pada kedua sisi wajah dan ini biasanya disebabkan oleh: infeksi atau peradangan dari nervus facialis, trauma kepala, tumor kepala atau leher, dan stroke.

Bell’s palsy (paralisis wajah) adalah paralisis saraf fasialis (Nervus VII) yang dikarenakan keterlibatannya pada salah satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau bahkan kelumpuhan otot wajah. Penyebanya idiopatik, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemik vaskuler, penyakit virus seperti herpes zoster, penyakit autoimun, atau bahkan kombinasi dari semua faktor ini (Smeltzer dan Bare, 2002). Bell’s Palsy juga sering disebut fasial paralisis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmik, non-degeneratifprimer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada nervus fasialis di foramen stilomastoideus. suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. (Iwantono, 2008).

  1. Etiologi Fasial Paralisis
Bell palsy (paralisis fasial) adalah kondisi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf kranial bagian perifer pada satu sisi, yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot fasial. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi kemungkinan penyebab dapat mencakup iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasinya. Paralisis bell menunjukkan tipe paralisis tekanan yang menyebabkanpenyimpangan wajah, peningkatan lakrimasi (mata berair), dan sensasi yang sangat menyakitkan pada wajah, di belakang telinga, dan mata. Pasien mungkin mengalami kesulitan berbicara dan tidak mampu untuk makan pada sisi yang sakit. (Baughman, 2000)

Menurut Muttaqin (2008) Penyebabnya tidak diketahui, meskipun kemungkinan penyebab dapat meliputi iskemia vaskular, penyakit virus (herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.

Selain itu, tekanan pada saraf fasial selama persalinan dapat mengakibatkan cedera pada saraf kranial VII. Manifestasi klinis primer adalah hilangnya gerakan sisi yang terkena, seperti ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, jatuhnya sudut mulut, dan tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Paralisis akan terlihat jelas ketika bayi menangis. Mulut tertarik ke arah sisi sehat, kerutan lebih dalam pada sisi yang normal, dan mata pada sisi yang sakit tetap terbuka. Tidak ada intervensi medis yang diperlukan. Paralisis ini biasanya hilang secara spontan dalam beberapa hari tetapi mungkin juga beberapa bulan. (Wong, 2008)

Kelemahan otot wajah akan tampak karena timbulnya lipatan nasolabial mendatar, salah satu sisi mulut turun ke bawah dan  penurunan kelopak mata bawah. Nukleus nervus fasialis terletak di bagian lateral baah pons sehingga lesi di daerah batang otak sering menimbulkan disfungsi  nervus fasialis. Nervus fasialis masuk ke tulang temporal dan letaknya dekat dengan telinga tengah sehingga saraf ini mudah terkena trauma fraktur dasar tengkorak dan tulang temporal akibat pembedahan atau akibat penyakit-penyakit telinga. Gangguan lain yang dapat mengakibatkan kelemahan saraf fasialis adalah miastenia gravis dan sindrom Guillain-Barre. (Sylvia A. Price, 2005)

  1. Faktor Resiko Fasial Paralisis
Priguna Sidharta (1985) dalam Muttaqin (2009) mendefinisikan bahwa Bell’s Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat tumor jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut. Bell’s Palsy sebenarnya penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), namun kemungkinan penyebab dapat meliputi :
  1. Iskemia Vaskuler
  2. Penyakit virus seperti herpes simplek, herpes zoster
  3. Penyakit Autoimun, atau kombinasi semua faktor

  1. Patofisiologi Fasial Paralisis
Fasial paralisis dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Saraf yang radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa paralisis otot wajah; peningkatan lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien mengalami kesukaran bicara dan kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibanding dengan gerakan kelopak mata yang sehat. Fenomena tersebut dikenal sebagai lagoftalmus. Lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan, mendatar. Pada saat mengembangkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah yang sehat.

Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain yang mengiringinya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bell’s palsy. Tetapi dua hal harus disebut sehubungan dengan ini. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam. Gejala yang tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak dapat penuh ditutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu, dan sebagainya.

Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain. Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu dinamakan sinkinesis.

Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Lebih-lebih pula otot fasial yang pernah lumpuh perifer itu dapat terlampau giat berkontraksi tanpa tujuan, sebagaimana dijumpai pada spasmus fasialis. Dalam hal ini, diluar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampaknya lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Karena itu banyak kekhilafan dibuat mengenai sisi mana yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama apabila klien yang pernah mengidap Bell’s palsy kemudian mengalami stroke.

Berbeda dengan Bell’s palsy atau paralis fasial, dimana kelemahan otot wajah sesisi timbul tanpa diketahui, adalah paresis fasialis unilateral akibat otitis media, dimana nyeri didalam telinga sudah mendorong orang sakit untuk berobat. Setelah itu, kelumpuhan otot wajah sesisi dapat terjadi. Jadi, dalam hal paresis fasialis akibat otitis media, klien dapat membantu perawat dengan memberikan informasi bahwa mulut mengok-nya bersangkutan dengan penyakit didalam telinga.
Tidak semua otitis media menimbulkan paresis fasialis. Terlibatnya nervus fasialis dalam proses dalam proses radang di kavum timpani harus melalui pengrusakan tulang yang melindungi kanalis fasialis. Otitis media akut merupakan penyakit anak-anak, bahkan bayi. Bayi dan anak kecil belum dapat mengeluh, tetapi demam dan tangisan (karena sakit kepala atau nyeri di dalam telinga) sudah cukup indikatif untuk meneliti membran timpani.

Jika pada bayi atau anak dengan otitis media akut terjadi paresis fasialis, maka secara langsung dapat disimpulkan bahwa infeksi bakterial yang dihadapi ialah infeksi streptokokus mukosus, oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum timpani. Pada otitis media, akut membran timpani memperlihatkan tanda-tanda inflamasi tanpa perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di dalam kavum timpani. Dalam keadaan itu, proses infeksi dapat melibatkan perios dan kemudian menimbulkan pengrusakan tulang. Bila dilakukan parasentesis, cairan berdarah encer yang meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan.

Otitis media akut yang disebabkan oleh kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada umumnya jarang menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media akut dapat berkembangmenjadi otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan evakuasi sekresi dari kavum timpani masih ke mastoid yang mempunyai banyak pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis fasialis yang ikut rusak oleh proses matoiditi, nervus fasialis mengalami gangguan dan timbullah paresis fasialis.

Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan olfaktorius dapat terlibat dalam infeksis tersebut. Gambaran penyakit dikuasai seluruhnya oleh adanya gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul, tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi ipsilateral juga.

Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf olfaktorius. Nomor dua dalam urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut hampir selamanya mengenai kanalis fasalis, yaitu fraktur os temporal, yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan liquor mengiringi paresis fasialis perifer traumatik. Dengan jalan auroskopi dapat diketahui adanya hematotimpani dengan/tanpa tersobeknya membran timpani.

Pada leukemia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit mengeluh tentang lesu-letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama beberapa minggu. Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukemia diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah dilakukan leukemia akan dikenal. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembekakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi di susunan saraf dan tulang tengkorak
.
  1. Manifestasi Klinis Fasial Paralisis
Manifestasi klinis Bell’s Palsy secara umum:
  1. Terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total pada salah satu sisi wajah, menyebabkan pasien sulit tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata
  2. Beberapa jam sebelum terjadi kelemahan pada otot wajah, penderita merasakan nyeri di belakang telinga. Kelemahan otot yang terjadi bisa ringan sampai berat, tetapi selalu pada sisi wajah. Sisi wajah yang mengalami kelumpuhan menjadi datar dan tanpa ekpresi, tetapi penderita seolah – olah wajahnya terpuntir.
  3. Sebagian besar penderita mengalami mati rasa atau merasa ada beban di wajahnya, meskipun sebetulnya sensasi wajah adalah normal
  4. Wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi
  5. Dapat terjadi rasa nyeri di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang terpengaruh.
  6. Sensitivitas terhadap suara akan meningkat pada sisi wajah yang terpengaruh
  7. Kadang timbul nyeri kepala
  8. Penurunan kemampuan indera pengecap pada sisi yang lumpuh
  9. Penurunan jumlah air mata dan liur yang diproduksi pada sisi yang terkena
  10. Pada beberapa kasus, Bell’s Palsy dapat mempengaruhi saraf kedua sisi wajah, walaupun hal tersebut jarang terjadi

  1. Karakteristik Fasial Paralisis
Ciri khas dari Fasial paralisis adalah sebagai berikut:
  1. Hilangnya kontrol otot secara tiba-tiba pada satu sisi wajah, dan memberikan tampilan wajah yang kaku.
  2. Sulit untuk tersenyum, menutup mata, mengedip, atau menaikkan alis.
  3. Vertigo dan tinnitus
  4. Hipersaliva akibat ujung mulut tertarik ke bawah
  5. Bicara menjadi tidak jelas dan adanya perubahan fungsi pengecapan.
  6. Ulserasi pada konjungtiva akibat palpebra tidak dapat tertutup sehingga kekeringan.
  7. Asimetri wajah
  8. Tidak adanya kerutan dahi dan lipatan nasolabial. Jika pada bayi terlihat jelas ketika menangis.
  9. Rasa baal/kebas di wajah
  10. Peningkatan lakrimasi (mata berair)
  11. Sensasi menyakitkan pada wajah, belakang telinga dan mata
  12. Tidak tahan suara keras pada sisi yang terkena
  13. Sudut mulut turun
  14. Kehilangan refleks konjungtiva sehingga tidak dapat menutup mata
  1. Pemeriksaan Diagnostik Fasial Paralisis
  1. Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan menemukan kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis. Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
  1. Diagnosa Banding
Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan perifer adalah sebagai berikut
  1. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat trauma sebelumnya. 
  2. Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa
    gangguan gerak mata kompleks dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering) apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema nodosa, dan kadang hiperkalsemia.
  1. Pemeriksaan Penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis.
  1. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP).
  2. Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.
  3. Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et al melaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektroneurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictivevalue (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential (CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis, serta pada pemeriksaan blink reflex didapatkan pemanjangan gelombang R1 ipsilateral. Pemeriksaan blink reflex ini sangat bermanfaat karena 96% kasus didapatkan abnormalitas hingga minggu kelima, meski demikian sensitivitas pemeriksaan ini rendah. Abnormalitas gelombang R2 hanya ditemukan pada 15,6% kasus.

  1. Diagnosa Fasial Paralisis
  1. Anamnesa
Pada inspeksi, terlihat pendataran dahi dan lipatan nasobial pada sisi yang terkena. Ketika pasien diminta menaikkan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat datar. Ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat lateralisasi ke sisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Pasien tidak dapat menutup matanya secara sempurna pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut fenomena Bell.

Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya infeksi atau trauma, penurunan sensibilitas rasa nyeri di daerah auricular posterior.

Pasien dengan paralisis otot stapedius mengalami hiperakusis. Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun di situ. Selain itu juga didapatkan:
  1. Rasa nyeri
  2. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
  3. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan   terbuka atau di luar ruangan.
  4.  Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

  1. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
  1. Mengerutkan dahi
  2.  Memejamkan mata
  3. Mengembangkan cuping hidung
  4. Tersenyum
  5.  Bersiul
  6. Mengencangkan kedua bibir

  1. Pemeriksaan Klinis
  1. Test Lakrimasi
  2. Fungsi sensorik :
Glukosa 5 % manis, as sitrat 1 % asam, sod kloride 2.5 % asin, quinine HCl 0,075 % pahit
  1. Test refleks stapedius
  2. Pemeriksaan fungsi motorik

  1. Pemeriksaan motoris
Pemeriksaan fungsi motorik N. Fasial yang sistematik yaitu dengan mengamati kelainan asimetri yang timbul pada wajah akibat kelumpuhan salah satu otot wajah.
  1. Pemeriksaan sensoris
Pemeriksaan fungsi sensorik yaitu dengan menilai dengan daya pengecapan (citarasa). Hilangnya atau mengurangnya daya pengecapan dinamakan ageusia dan hipogeusia . Bilamana pengecapan asin dirasakan sebagai asam -manis dan sebagainya, maka daya pengecapan yang abnormal itu dinamakan Pargeusia.
  1. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy. Darah, Dibeberapa kasus terjadi peningkatan ringan dari limfosit dan sel -sel mononuklear sehingga diikuti dengan peningkatan tekanan darah.
  1. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

  1. Diagnosa Banding Fasial Paralisis
  1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
    Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.  Tanda dan gejala RHS meliputi:
    • Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
    • Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
    • Kesulitan menutup satu mata
    • Sakit telinga
    • Pendengaran berkurang
    • Dering di telinga (tinnitus)
    • Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
    • Perubahan dalam persepsi rasa
  1. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated  Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan kelemahan otot-otot mata. Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkann rasa kebas, pusing dan mual.

  1. Penatalaksanaan Fasial Paralisis
  1. Terapi Non-Farmakologis
  1. Stimulasi listrik
Stimulasi listrik pada wajah untuk mencegah atrofi otot. Stimulasi listrik yang diberikan pada pasien dengan bell's palsy ini menggunakan metode individual (motor point). Metode individual ini merupakan suatu stimulasi elektrik yang ditujukan pada individual otot sesuai dengan fungsinya melalui motor point. Motor point sendiri adalah titik peka rangsang yang terletak di superficial kulit. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah untuk merangsang fungsi otot secara individual baik yang letaknya superficial maupun dalam (deep).
Cara pemberian stimulasi listrik (prosedur pelaksanaan):
  1. Posisi pasien tidur terlentang di atas tempat tidur dengan rileks
  2. Posisi terapis berada di sebelah kanan atau pada sisi yang terdapat lesi
  3. Pelaksanaan
  1. Periksa alat, kabel, tombol menu, dan intensitas harus dalam keadaan nol
  2. Memasangkan alat dengan menaruh katode dibagian cervikal dan anode diletakkan pada masing-masing titik motor poin otot-otot wajah.
  3. Dalam setiap pelaksanaan, titik motor poin yang dituju oleh arus intensitas  harus direndahkan atau dalam posisi nol dan saat menaikkan intensitas pelan-pelan sampai terlihat kontraksi yang terjadi, tanyakan pada pasien apakah sudah pas, terlalu rendah atau tinggi. Setelah selesai matikan alat dan alat ditata kembali. Untuk dosis terapi menggunakan arus faradik dengan intensitas toleransi pasien yaitu 3 mA dan waktu 15 menit.
  1. Rehabilitasi Fasial
Rehabilitasi fasial secara komprehensif dilakukan dalam 4 bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan,dan relaksasi.
  1. Kontrol gerakan
Kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis.
  1. Relaksasi
Relaksasi ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
  1. Pendidikan klien
Pada paralisis lanjut dapat menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan refleks berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien. Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak adanya reflek berkedip. Penutupan mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Klien yang mengalami paralisis diajarkan untuk menutup kelopak mata secara manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitif, wajah dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk memasase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, menggembungkan pipi ke luar, dan bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.
  1. Penggunaan air mata buatan
Menggunakan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan lateral kelopak mata atas dan bawah). Hal ini dilakukan karena kornea mata memiliki resiko mongering dan terpapar benda asing.
  1. Kemodenervasi
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastic
  1. Konsultasi ke bagian lain
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
  1. Terapi Farmakologis
  1. Terapi Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid yaitu prednison dan prednisolon dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskular dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau menimbulkan denevarsi. Dosis pemberian prednisone (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikti empat hari tapering off.
  1. Antiviral
Antiviral yang biasa diberikan pada pasien fasialis paralisis adalah asiklovir. Pemberian antiviral pada pasien ini karena ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh. Pada penggunaan asiklovir tunggal tidak efektif dibandingkan dengan kortikosteroid. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian asiklovir/valasiklovir dan prednisosn lebih baik jika dibandingkan dengan terapi prednisolon saja. Kombinasi dari terapi valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg/kg/hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2.000-4.000 mg/hari dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1.000-3.000 mg/hari secara ora dibagi 2-3 kali selama 5 hari.


  1. Web of Causation (WOC) Fasial Paralisis

Sistem imun
Herpes Simpleks Virus (HSV)
Inflamasi akut di n. Fasialis
Peningkatan diameter n. Fasialis
Kompresi saraf
Gangguan impuls motorik dari n. Fasialis
n. fasialis terjepit
Suhu  dingin
Lapisan endotelium pembuluh darah rusak
Proses transdusi
Foramen sternokleidomastoideus bengkak
Ketidakstabilan otonom
Respons simpatis
Vasospasme
Spasme spontan
Gerakan wajah tidak terkendali
Kesalahan regenerasi saraf salivarius menuju glandula lakrimalis
Air mata keluar dari sisi mata yang lesi/ lemah
MK: Cemas
Penatalaksanaan
Ansietas
MK: Defisit pengetahuan
Iskemia
Fasialis paralisis
MK: Gangguan citra diri
MK: gangguan komunikasi verbal
MK: Nyeri



BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN

  1.  Pengkajian Keperawatan
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s Palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.
  1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
  1. Riwayat penyakit saat ini
Pada pengkajian klien Bell’s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi. Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutup bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda Bell.
  1. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi presdisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranal, trauma kapitis, penyakit virus (herpes simpleks, herves zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan dan tempat rujukan klien untuk meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang.
  1. Pengkajian psiko-sosio –spiritual
  1. Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
  2. Pengkajian mekanisme koping untuk menilai respon emosi tehadap kelumpuhan otot wajah seisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yang timbul ketakutan atau kecacatan, rasa cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).
  3. Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan selama ini yang sudah di ketahui dan perubahan perilaku akibat stres. Karena klien harus menjalani perawatan rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukann dana yang tidak sedikit.
  4. Perawat juga memasukan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak ganguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defesit neurologi dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan individu.

  1. Pemeriksaan fisik
Fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
  1. B1 (Breathing) :
  1. Inspeksi : Irama dan frekuensi napas normal serta tidak ada penggunaan otot bantu napas.
  2. Palpasi : Traktil premitus seimbang kanan dan kiri.
  3. Perkusi : Resonan pada seluruh lapangan paru.
  4. Askultasi : Tidak terdengar bunyi napas tambahan.
  1. B2 (Blood) : Frekuensi dan irama nadi normal. Tekanan darah dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
  1. B3 (Brain) : Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkaian pada sistem lainnya.
1) Tingkat Kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien composmentis. Fungsi Serebri Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status mental klien mengenai perubahan.
2) Pemeriksaan saraf kranial
  1. Saraf I : Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
  2. Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
  3. Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
  4. Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah seisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
  5. Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali adema nervus fasialis di tingkat faranem stilomastedeus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
  6. Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
  7. Saraf IX dan X : Paralisis Otot orofaing, kesukaran berbicara, mengunya, dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
  8. Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
  9. Saraf XII : Lidah simestris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
3) Sistem Motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
4) Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat reflex pada respons normal.
5) Gerakan Involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering di temukan Tic Fasialis.
6) Sistem Sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu tidak ada kalainan.
  1. B4 (Bladder) : Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
  2. B5 (Bowel) : Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot mengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
  3. B6 (Bone) : Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

  1. Diagnosa keperawatan
  1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
  2. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
  3. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral
  4. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan
  5. Nyeri yang berhubungan dengan peradangan saraf fasial
  6. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

  1. Intervensi Keperawatan
  1. Perubahan body image yang berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah
Tujuan             : Body image kembali baik setelah perawatan
Kriteria hasil    :
a. Pasien mengungkapkan bahwa dirinya menerima kondisi yang ada pada dirinya (kelumpuhan otot wajah)
b. Pasien tidak mengalami kecemasan
c. Pasien mampu melaksanakan peran dengan kondisi baik pada semua fungsi bio-psiko-sosial
IntervensiRasional
Kaji luasnya gangguan persepsi dan hubungkan dengan derajat ketidakmampuannya.Penentuan faktor – factor secara individu membantu dalam mengembangkan perencanaan asuhan/pilihan intervensi.

Identifikasi arti dari disfungsi atau perubahan pada pasienKadang – kadang pasien menerima dan mengatasi gangguan fungsi secara efektif dengan sedikit penanganan, di lain pihak ada juga orang yang mengalami kesulitan dalam menerima dan mengatasi kekurangannya.
Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaannya termasuk rasa bermusuhan dan perasaan marahMendemonstrasikan penerimaan/membantu pasien untuk mengenal dan mulai memahami perasaan ini.
Catat apakah pasien menunjuk daerah yang sakit ataukah pasien mengingkari daerah tersebut dan mengatakan hal tersebut “telah mati”Menunjukkan penolakan terhadap bagian tubuh/perasaan negative terhadap citra tubuh dan kemampuan, menandakan perlunya intervensi dan dukungan emosional
Akui pernyataan perasaan tentang pengingkaran terhadap tubuh, tetap pada kenyataan yang ada tentang realita bahwa pasien masih dapat menggunakan bagian tubuhnya yang tidak sakit dan belajar untuk mengontrol bagian tubuh yang sakit. Gunakan kata – kata (lemah, sakit, kanan-kiri) yang tidak mengasumsikan bahwa bagian tersebut sebagai bagian dari seluruh tubuh.Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian tubuh tersebut merupakan suatu bagian yang utuh dari seseorang Memberikan kesempatan pasien untuk merasakan pengharapannya secara penuh dan mulai menerima keadaan yang dialami saat sekarang ini.

Tekankan keberhasilan yang kecil sekalipun baik menganai penyembuhan fungsi tubuhataupun kemandirian pasien.Mengkonsolidasikan keberhasilan membantu menurunkan perasaan marah dan ketidakberdayaan dan menimbulkan perasaan adanya perkembangan
Dorong orang terdekat agar memberi kesempatan pada pasien untuk melakukan kegiatan sebanyak mungkin untuk dirinya sendiriMembangun kembali rasa kemandirian dan menerima kebanggaan diri dan mingkatkan proses rehabilitasi.
Berikan dukungan terhadap perilaku/usaha seperti peningkatan minat/partisipasi pasien dalam kegiatan rehabilitasiMengisyaratkan kemungkinan adaptasi untuk mengubah dan memahami tentang peran diri sendiri dalam kehidupan selanjutnya.
Pantau gangguan tidur, meningkatnya kesulitan untuk berkonsentrasi, pernyataan ketidakmampuan untuk mengatasi sesuatu, letargi dan menarik diri.Mungkin merupakan indikasi serangan depresi yang mungkin memerlukan evaluasi dan intervensi lebih lanjut.
Rujuk pada evaluasi neuropsikologis atau konseling sesuai kebutuhan.Dapat memudahkan adaptasi terhadap perubahan peran yang perlu untuk perasaan/merasa menjadi orang yang produktif.

  1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.
Tujuan             :Nyeri berkurang
Kriteria hasil    :Pasien menyatakan sudah tidak merasa nyeri atau nyeri sudah berkurang dalam 3x24 jam, pasien tidak menunjukkan ada tanda-tanda merasa nyeri.
IntervensiRasional
Kaji tingkat nyeri, beratnya (skala 0 – 10)Berguna dalam pengawasan kefektifan obat, kemajuan penyembuhan
Berikan istirahat dengan posisi semifowlerDengan posisi semi-fowler dapat menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan posisi telentang
Anjurkan klien untuk menghindari makanan yang dapat meningkatkan kerja asam lambung.dapat menghilangkan nyeri akut/hebat dan menurunkan aktivitas peristaltik
Anjurkan klien untuk tetap mengatur waktu makannyamencegah terjadinya perih pada ulu hati/epigastrium
Observasi TTVsebagai indikator untuk melanjutkan intervensi berikutnya
Diskusikan dan ajarkan teknik relaksasiMengurangi rasa nyeri atau dapat terkontrol
Kolaborasi dengan pemberian obat analgesikMenghilangkan rasa nyeri dan mempermudah kerjasama dengan intervensi terapi lain


  1. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan kehilangan tonus/kontrol otot fasial/oral
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam pasien mampu menunjukkan kemampuan komunikasi
Kriteria hasil    :
  1. Pasien dapat menggunakan bahasa tertulis, berbicara, atau nonverbal, menggunakan bahasa isyarat, pasien dapat bertukar pesan dengan orang lain.
IntervensiRasional
Kaji kemampuan komunikasi klien.Kelamahan otot bicara pada klien krisis miastenia gravis dapat berakibat pada komunikasi.
Lakukan metode komunikasi yang ideal sesuai dengan kondisi klienTeknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi mendengarkan klien, mengulangi apa yang mereka coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap kedipan mata mereka dan atau goyangan jari-jari kaki untuk menjawab ya atau tidak. Setelah periode krisis miastenik dipecahkan, klien selalu mampu mengenal kebutuhan mereka.
Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus bila perluUntuk kenyamanan yang berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.Membantu menurunkan frustasi karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban “ya” atau “tidak” dan perhatikan respon klien.Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
Kolaborasi: konsulkan ke ahli terapi bicaraMengkaji kemampuan verbar individual, sensotik, motorik, serta fungsi kognotof untuk mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi.

  1. Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan prosedur pengobatan
Tujuan                         : Kontrol kecemasan
Kriteria hasil    :
  1. Koping telah dilakukan asuhan selama 2x 24 jam klien kecemasan teratasi
  2. Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
  3. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
  4. Vital sign dalam batas normal
  5. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi
NIC :
  1. Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)
  1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
  2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
  3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
  4. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
  5. Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis
  6. Libatkan keluarga untuk mendampingi klien
  7. Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi
  8. Dengarkan dengan penuh perhatian
  9. Identifikasi tingkat kecemasan
  10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan
  11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi
  12. Kelola pemberian obat anti cemas




DAFTAR PUSTAKA

Artikel. Lowis, Handoko & Maula N Gaharu. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI
Dewanto, George. 2010. Praktis diagnosa & tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta
Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes : Neurologi. Erlangga : Jakarta.
Harsono. 2007. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Penerbit Gadjah Mada University Press
Kaygusuz,Irfan. The Role of Viruses in Idiopathic Peripheral Facial Palsy and Cellular Immune Response. American Journal of Otolaryngology, Vol 25, No 6 (November-December), 2004: pp 401-406
Lumbantobing. 2007. Neurologi Klinik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Marjono, Mahar. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat
Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y, Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202
Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Kapita Selekta Kedokteran.Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia
Suharsono,Darto. 2012. Bell’s Palsy. Surabaya : Divisi Neuropediatri, SMF Ilmu Kesehatan Anak, RSU Dr.Soetomo.
Sunaryo, Utowo. 2013. Bell’s Palsy. Surabaya: Neurologi FK Universitas Wijaya Kusuma
Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
Williams, Lippincot & Wilkins. 2011. Nursing : Memahami Berbagai Macam Penyakit. Indeks: Jakarta
Wong, Donna L., 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Volume 1. Jakarta: EGC
http://www.facialpalsy.org.uk/about-facial-palsy/what-is-facial-palsy/1395/ Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 16.01
http://www.healthline.com/health/facial-paralysis#Overview diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 16.03
http://eresources.pnri.go.id:2058/pagepdf.openpdfinviewercopy [13 April 2014]
http://fkuwks2012c.files.wordpress.com/2013/06/pakar-bells-palsy.pdf diakses pada tanggal 11 April 2014 pukul 17.00 WIB.


Demikianlah Artikel Fasial Paralisis (Bell's Palsy)

Sekianlah artikel Fasial Paralisis (Bell's Palsy) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Fasial Paralisis (Bell's Palsy) dengan alamat link https://askep-nursing.blogspot.com/2014/08/fasial-paralisis-bell-palsy.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar