Diabetes Insipidus

Diabetes Insipidus - Hallo sahabat askep, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Diabetes Insipidus, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perawat, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Diabetes Insipidus
link : Diabetes Insipidus

Baca juga


Diabetes Insipidus

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi
Kelenjar hipofisis posterior, yang juga disebut neurohipófisis, terutama terdiri dari sel-sel seperti glia yang disebut pituisit. Pituisit ini tidak menyekresikan hormon; sel ini hanya bekerja sebagai struktur penunjang bagi banyak sekali serabut saraf terminal dan Ujung saraf terminal dari jaras saraf yang berasal dari nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular di hipotalamus. Jaras saraf ini berjalan menuju ke neurohipófisis melalui tangkai hipofisis (tangkai pituitary). Bagian akhir saraf ini merupakan kenop bulbosa yang mengandung banyak granula sekretorik. Bagian Ujung ini terletak pada permukaan kapiler, tempat granula tersebut menyekresikan 2 hormon hipofisis posterior : (1) hormon antidiuretik (ADH), juga disebut sebagai vasopressin, dan (2) oksitosin.

Bila tangkai hipofisis dipotong di atas kelenjar hipofisis tetapi seluruh hipotalamusnya dibiarkan untuh, hormon hipofisis posterior akan terus disekresikan secara normal, sesudah mengalami penurunan sekresi sementara selama beberapa hari; kemudian hormon-hormon tersebut disekresikan oleh ujung serabut yang terpotong yang terletak di dalam hipotalamus dan bukan oleh bagian akhir saraf yang terletak di dalam kelenjar hipofisis posterior. Hal ini terjadi karena pada awalnya hormon disintesis di dalam badan sel nukleus supraoptik dan nukleus paraventrikular dan kemudian bergabung dengan proteína “pembawa” yang disebut neurofisin akan diangkut ke Ujung saraf di dalam kelenjar hipofisis posterior, dan untuk dapat mencapai kelenjar itu dibutuhkan waktu beberapa hari.

ADH dibentuk terutama di dalam nukleus supraoptik, sedangkan oksitosin dibentuk terutama di dalam nukleus paraventrikular. Masing-masing nukleus ini dapat mensintesis hormon kedua kira-kira seperenam dari hormon primernya. Bila hormon ADH ini tidak ada, maka tubulus dan duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air, sehingga mencegah reabsorbsi air dalam jumlah yang signifikan dan karena itu mempermudah keluarnya air yang sangat banyak ke dalam urin, yang juga menyebabkan urin menjadi sangat encer. Sebaliknya, bila ada ADH, maka permeabilitas tubulus dan duktus koligentes terhadap air sangat meningkat dan menyebabkan sebagian besar air direabsorbsi sewaktu cairan tubulus melewati duktus koligentes, sehingga air yang disimpan dalam tubuh akan lebih banyak dan menghasilkan urin yang sangat pekat.

Mekanisme yang tepat mengenai kerja ADH pada duktus untuk meningkatkan permeabilitas duktus koligentes hanya diketahui sebagian. Tanpa ADH, membran luminal sel epitel tubulus pada duktus koligentes hampir tidak permeabel terhadap air. Akan tetapi, di dalam membran sel, terdapat sejumlah besar vesikel khusus yang mempunyai pori-pori yang sangat permeabel terhadap air, yang disebut aquaporin. Bila ADH bekerja pada sel, ADH mula-mula akan bergabung dengan reseptor membran yang mengaktifkan adenilil siklase dan menyebabkan pembentukan cAMP di dalam sitoplasma sel tubulus. cAMP ini menyebabkan fosforilasi elemen di dalam vesikel khusus, yang kemudian menyebabkan vesikel masuk ke dalam membran sel apikal, sehingga menyediakan banyak daerah yang bersifat permeabel terhadap air. Semua proses ini terjadi dalam waktu 5 sampai 10 menit. Kemudian, bila tidak ada ADH, seluruh proses berbalik dalam waktu 5 sampai 10 menit berikutnya. Jadi, proses ini secara sementara menyediakan banyak pori baru yang mempermudah difusi bebas air dari cairan tubulus melewati sel epitel tubulus dan masuk ke dalam cairan interstisial ginjal. Kemudian air diabsorbsi dari tubulus dan duktus koligentes dengan cara osmosis.

Cara pengaturan sekresi ADH oleh konsentrasi osmotik cairan ekstrasel masih belum diketahui secara tepat. Namun, di suatu tempat di hipotalamus atau di dekat hipotalamus, terdapat reseptor neuron yang sudah dimodifikasi yang disebut osmoreseptor.  Bila cairan ekstrasel menjadi terlalu pekat, cairan akan ditarik dengan cara osmosis keluar dari sel osmoreseptor, sehingga ukurannya berkurang dan menimbulkan sinyal saraf yang tepat di dalam hipotalamus agar menghasilkan sekresi ADH tambahan. Sebaliknya, bila cairan ekstrasel menjadi terlalu encer, air bergerak dengan cara osmosis ke arah yang berlawanan, yaitu masuk ke dalam sel, dan menurunkan sinyal untuk sekresi ADH. Walaupun beberapa peneliti meyakini letak osmoreseptor di dalam hipotalamus itu sendiri (bahkan mungkin di dalam nukleus supraoptik sendiri), peneliti lainnya meyakini bahwa osmoreseptor terletak di organum vaskulosum, suatu struktur kaya pembuluh darah yang terletak di ventrikel ketiga pada dinding anteroventralnya.

Kerja ADH ginjal yang paling penting adalah meningkatkan permeabilitas air pada tubulus distal, tubulus koligentes,dan epitel duktus koligentes. Kerja ADH dalam ginjal meningkatkan proses utama yang terjadi dalam lengkung henle melalui dua mekanisme. Yang pertama yaitu aliran darah melalui vase recta di medula berkurang bila terdapat adh sehingga memperkecil pengurangan zat dalam intestinum. Yang kedua yaitu adh meningkatkan permeabilitas di ductus pengumpul dan tubulus ginjal sehingga makin banyak air yang berdifusi keluar untuk membentuk keseimbangan dengan cairan interstitial yang hiperosmotik Hal ini membantu tubuh untuk menyimpan air dalam keadaan seperti dehidrasi. Bila tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus koligentes terhadap air menjadi rendah, menyebabkan ginjal mengeksrkresi sejumlah besar urin yang encer. Jadi, kerja ADH memegang peranan penting dalam mengontrol derajat pengenceran atau pemekatan urin.

ADH berikatan dengan reseptor V2 spesifik di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligentes dan duktus koligentes, yang meningkatkan pembentukan cAMP dan mengaktivasi protein kinase. Kemudia kedua hal tersebut merangsang pergerakan suatu protein intrasel, yang disebut aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel.molekul-molekul AQP-2 berkelompok dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang menyebabkan difusi air secara cepat melalui sel. Juga terdapat aquaporin lainnya, AQP-3 dam AQP-4. di sisi basolatera; dari membran sel yang menyediakan suatu jalur bagi air untuk keluar dari sel secara cepat, walaupun hal ini tidak diyakini diatur oleh ADH. Peningkatan kadar ADH secara kronis juga meningkatkan pembentukan AQP-2 di sel tubulus ginjal dengan merangsang transkripsi gen AQP-2. bila konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 berpindah kembali ke sitoplasma sel, dengan demikian memindahkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.

Bila osmolaritas cairan tubuh meningkat di atas normal (yaitu, zat terlarut dalam cairan tubuh menjadi terlalu pekat), kelenjar hipofisis posterior akan menyekresi lebih banyak ADH, yang meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air. Keadaan ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi air dalam jumlah besar dan penurunan volume urin, tetapi tidak mengubah kecepatan ekskresi zat terlarut oleh ginjal secara nyata.

Bila terdapat kelebihan air di dalam tubuh dan osmolaritas cairan extrasel menurun, sekresi ADH oleh hipofisis posterior akan menurun. Oleh sebab itu, permeabilitas tubulus distal dan tubulus koligentes terhadap air akan menurun, yang menghasilkan sejumlah besar urin encer. Jadi, kecepatan sekresi ADH sangat menentukan encer atau pekatnya urin yang akan dikeluarkan oleh ginjal. (Adler, 2010)

2.2 Diabetes Insipidus
2.2.1  Definisi dan Klasifikasi
Diabetes insipidus (DI) merupakan kelainan di mana terjadi peningkatan output urin abnormal, asupan cairan dan sering haus. Ini menyebabkan gejala seperti frekuensi kemih, nokturia (sering terbangun di malam hari untuk buang air kecil) dan enuresis (buang air kecil disengaja selama tidur atau "ngompol") Urin output.ditingkatkan karena tidak terkonsentrasi biasanya,. Akibatnya bukannya warna kuning, urin yang pucat, tidak berwarna atau berair tampilan dan konsentrasi diukur (osmolalitas atau berat jenis) rendah. (Zulkifli, 2007).
Diabetes inspidius merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan poliuria dan polidipsia yang disebabkan oleh defisiensi ADH. Biasanya terjadi akibat trauma atau tumor yang mengenai hipofisisposterior dan merupakan idiopatik ( hamcock,1999 ).
Diabetes Insipidus diklasifikasikan menjadi beberapa macam, yaitu sebagai berikut (Guyton, 2007):
  1. Diabetes Insipidus Sentral
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptiko hipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan.
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik ADH (desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil. Selama mengkonsumsi desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahan keseimbangan cairan dalam tubuh.
2.  Diabetes Insipidus Nefrogenik
Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat di sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease, dan kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak akan berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume overload.
3.    Diabetes Insipidus Dipsogenik
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal sehingga terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output urin. Desmopressin tidak boleh digunakan untuk penanganan diabetes insipidus dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi dimana konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak. Belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.
4.      Diabetes Insipidus Gestasional
Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat abnormalitas dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai terapi.

2.2.2 Etiologi Diabetes Insipidus
Berikut ini adalah beberapa penyabab terjadinya diabetes insipidus (Rubeinsten, 2007) :
  1. Idiopatik, biasanya bersifat herediter dan merupakan bentuk yang paling umum
  2. Tumor : kraniofaringoma atau tumor sekunder
  3.  Pembedahan atau radiasi pada kelenjar hipofisis
  4. Trauma kepala, biasanya ringan dan hanya berlangsung sebentar. Jarang berat dan permanen disertai transaksi tangkai hipofisis disertai fraktur tengkorak bagian frontal
  5.  Granuloma, misalnya sarkoid, atau infeksi (misalnya: meningitis basalis)

2.2.3 Manifestasi Klinis Diabetes Insipidus
Berikut ini adalah manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan diabetes insipidus (Baradero, M, et al : 2009):
  1. Poliuria, urin yang diproduksi dan dikeluarkan setiap harinya sangat banyak. Dalam satu hari dapat mencapai lebih dari 20 liter, dengan konistensi urin yang encer dan berat jenis 1,005.
  2. Polidipsia, rasa haus yang berlebihan, dalam satu hari intake cairan dapat mencapai 4-40 liter, terutama sangat membutuhkan air yang dingin.
  3. Adanya gangguan tidur karena poliuria dan nokturia
  4. Subtitusi air yang tidak memadai dapat mengakibatkan:
  • Hiperosmolaritas dan gangguan system saraf pusat (mudah marah, disorientasi, koma, dan hipertermia)
  • Hipovolemia, hipotensi, takikardi, mukosa kering, dan turgor kulit buruk



2.2.4 Patofisiologi
Diabetes insipidus disebabkan oleh adanya gangguan pada sekresi hormon antidiuretik (ADH), yang juga dikenal sebagai vasopresin. ADH memiliki peranan penting dalam mengatur jumlah cairan dalam tubuh. ADH dihasilkan oleh bagian otak yang disebut hipotalamus dan disimpan tepat di bawah otak, yaitu pada kelenjar hipofisis, hingga hormone ini dibutuhkan. Bila jumlah air dalam tubuh terlalu rendah, ADH disekresi dari kelenjar hipofisis. Hal ini membantu untuk mempertahankan air dalam tubuh, yaitu dengan menghentikan kerja ginjal dalam memproduksi urine. Dalam kasus diabetes insipidus, ADH tidak menghentikan kerja ginjal untuk memproduksi urin dan membiarkan banyak cairan keluar dari tubuh. (NHS, 2012)

Lebih rinci, hormon antidiuretik atau vasopresin yang dibuat di nucleus supraoptik, paraventrikular , dan filiformis hipotalamus, bersama dengan pengikatnya yaitu neurofisin II. Vasopresin kemudian diangkut dari badan-badan sel neuron tempat pembuatannya, melalui akson menuju keujung-ujung saraf yang berada di kelenjar hipofisis posterior, yang merupakan tempat penyimpanannya.Secara fisiologis, vasopressin dan neurofisin yang tidak aktif akan disekresikan bila ada rangsang tertentu.

Sekresi vasopresin diatur oleh rangsang yang meningkat pada reseptor volume dan osmotic. Suatu peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler atau penurunan volume intravaskuler akan merangsang sekresi vasopresin. Vasopressin kemudian meningkatkan permeabilitas epitel duktus pengumpul ginjal terhadap air melalui suatu mekanisme yang melibatkan pengaktifan adenolisin dan peningkatan AMP siklik (yaitu Adenosin Mono Fosfat). Akibatnya, konsentrasi kemih meningkat dan osmolalitas serum menurun. Osmolalitas serum biasanya dipertahankan konstan dengan batas yang sempit antara 290 dan 296 mOsm/kg H2O.

Gangguan dari fisiologi vasopressin ini dapat menyebabkan pengumpulan air pada duktus pengumpul ginjal meningkat karena berkurang permeabilitasnya, yang akan menyebabkan poliuria atau banyak kencing.Selain itu, peningkatan osmolalitas plasma akan merangsang pusat haus, dan sebaliknya penurunan osmolalitas plasma akan menekan pusat haus. Ambang rangsang osmotic pusat haus lebih tinggi dibandingkan ambang rangsang sekresi vasopresin. Sehingga apabila osmolalitas plasma meningkat, maka tubuh terlebih dahulu akan mengatasinya dengan mensekresi vasopresin yang apabila masih meningkat akan merangsang pusat haus, yang akan berimplikasi orang tersebut minum banyak(polidipsia).

Berkurangnya ADH dapat disebabkan oleh tumor atau cedera kepala. Diabetes insipidus juga dapat disebabkan oleh ginjal yang tidak memberikan respons terhadap ADH yang bersirkulasi, karena reseptornya (second messenger) berkurang.

Diabetes insipidus ditandai oleh poliuria dan polidipsia. Penyakit ini tidak dapat dikontrol dengan membatasi intake cairan, karena pasien mengalami kehilangan volume urine dalam jumlah banyak secara terus menerus tanpa penggantian cairan. Upaya pembatasan intake cairan menyebabkan pasien mengalami kebutuhan akan cairan tanpa henti-hentinya dan mengalami hipernatremia serta dehidrasi berat.



2.2.5 WOC

MK: Defisit cairan kurang dari kebutuhan tubuh

Anoreksia
Perut terasa penuh
Polidipsia

Merangsang haus

MK: Ketidakseimbangan nutris kurang dari kebutuhan tubuh
Produksi urine meningkat
Poliuria
Nokturia
MK: kurangnya pengetahuan

Reabsorbsi air menurun

Osmolalitas serum dalam tubuh meningkat (Hiperosmolalitas)

kerusakan tubulus ginjal

kegagalan pembentukan dan pemeliharaan gradient osmotik dalam medula renalis
Ginjal gagal mereabsorbsi air

DIABETES INSIPIDUS
Tumor Hipofisis
Sintesis ADH tidak ada/ada tapi tidak berfungsi


Rusaknya nukleus supraoptik, paraventrikuler, dan filiformis hipotalamus rusak

DI Sentral
Infeksi
Trauma
Hipofisektomi
DI Nefrogenik
kegagalan utilisasi gradient pada keadaan saat ADH berada dalam jumlah yang cukup dan berfungsi normal
MK: Gangguan pola tidur




2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik pada diabetes insipidus yaitu : (Supriyanto, 2009)
1.      Laboratorium : darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah irun biasanya didapatkan lebih dari 4 – 10 liter dan berat jenis bervariasi dari 1,001 – 1,005 (normal=1,003-1,03) dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urine 300-450 mOsml/l. urin pucat atau jernih.Kadar natrium urine rendah. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.
Test deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan defisiensi ADH parsial dan juga untuk membedakan diabetes insipidus dengan polydipsia primer pada anak. Pemeriksaan harus dilekukan pagi hari. Hitung BB anak dan periksa kadar osmolalitas plasma maupum urin tiap 2 jam. Pada individu normal, osmolalitas akan naik(<300) namun output urin akan berkurang dengan berat jenis yang naik (800-1200). 
2.      Radioimunnoassay untuk vasopressin
Kadar plasma yang selalu kurang dari 0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus neurogenic berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai menunujukkan diabetes insipidus neurogenic parsial.Pemeriksaan ini berguna dalam membedakan diabetes insipidus parsial dengan polydipsia primer.
3.      Rontgen Cranium
Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti kalsifikasi, pembesaran sella tursika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya sutura.
4.      MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus.Gambaran dengan T1 dapat membedakan kelenjar pituitary anterior dan posterior dengan isyarat hiperintense atau yang disebut titik terang/ isyarat terang.Titik terang muncul pada MRI kebanyakan penderita normal namun tidak tampak pada penderita dengan lesi jaras hipotalamik-neurohipofise.Penderita dengan diabetes insipidus autosom dominan, titik terang biasanya muncul, mungkin disebabkan oleh akumulasi mutan kompleks AVP-NP II. Menebalnya tangkai kelenjar pituitary dapat terlihat dengan MRI penderita dengan diabetes insipidus dan histiositosis Langerhans(LCH)/ infiltrasi limfosit. Pada beberapa abnormalitas MRI dapat dideteksi bahkan sebelum bukti klinis LCH lain ada.

2.2.7 Penatalaksanaan
a.  Manajemen kolaboratif
Obat pilihan untuk klien diabetes inspidius adalah vasopressin.Diabetes insipidus transien akibat trauma kapitis atau bedah transfenoidal juga diberi obat vasopresin5-10 IU intramuscular (IM) atau subkutan.Vasopressin mempunyai efek antidiuretik.
Pengobatan yang lazim dipakai untuk pasien dengan diabetes insipidusnefrogenik adalah diet rendah natrium,rendah protein, dan obat diuretic (Thiaside ). Diet yang rendah garam dengan obet diuretic diharapkan dapat mengurangi sedikit pengurangan volume cairan.Sedikit pengurangan volume cairan dapat meningkatkan rebsorpsi natrium klorida dan air pada tubulla renal sehingga sedikit air yang diekskresikan.
Diuretic dapat meningkatkan osmolalitas pada ruang interstistial medular sehingga lebih banyak air yang diabsorpsi dalam tubulus koligentes. Terapi lain yang diberikan untuk diabetes inspidius nefrogenik adalah pemberian obat anti –inflamasi nonsteroid. Obat ini mencegah produksi prostaglandin oleh ginjaldan bisa menambah kemampuan ginjal untuk mengonsentrasi urin.
Apabila pasien menunjukkan tanda hipernatremia disertai dengan tanda-tanda SSP misalntua letargi,disorientasi, hipertermia, pasien dapat diberikan dekstrosa dalam air atau minum air biasa kalau ia bisa minum. Penggantian air yang hilang dilakukan dalam 48 jam dengan hati-hati karena bisa menyebabkan edema serebral dan kematian. (Beradero, etc 2005).
b.      Manajemen keperawatan
Fokus intervensi keperawatan adalah mempertahankan keseimbangan cairandan elektrolit, istirahat, dan penyuluhan mengenai (Beradero, etc 2005):
1)      pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
  • Pantau asupan dan haluaran, berat badan setiap hari, berat jenis urin, tanda vital ( ortostatik ), turgor kulit, status neurologis setiap 1-2 jamselama fase akut, kemudian setiap 4-8 jam sampai pasien pulang.
  • Harus ada air yang selalu siap diminum oleh pasien.letakkan air dekat dengan pasien.
2)      Beri cukup waktu untuk istirahat. Pasien sering terganggu tidurnya karena poliuri dan nokturia.
3)      Penyuluhan pasien :
  • Uji diagnostic: tujuan, prosedur, dan pemantauan yang diperlukan.
  • Obat: manajemen mandiri, cara pemakaian, dosis, frekuensi, serta efek samping. (Elis Setyawati, 2011)



BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
A.    Anamnesis
1.      Indentitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan penanggung biaya.
2.      Keluhan utama
Biasanya pasien merasa haus, pengeluaran air kemih yang berlebihan, sering keram dan lemas jika minum tidak banyak.
3.      Riwayat penyakit saat ini
Pasien mengalami poliuria, polidipsia, nocturia, kelelahan, konstipasi.
4.      Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami Cidera otak, tumor, tuberculosis, aneurisma/penghambatan arteri menuju otak, hipotalamus mengalami kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu sedikit hormone antidiuretik, kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik kedalam aliran darah, kerusakan hipotalamus/kelenjar hipofisa akibat pembedahan dan beberapa bentuk ensefalitis, meningitis.
5.      Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan diabetes insipidus.
6.      Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya perubahan peran.
B.     Pemeriksaan Persistem
1.      Pernafasan B1 (breath)
RR normal (20x/menit), tidak ada sesak nafas, tidak ada batuk pilek, tidak memiliki riwayat asma dan suara nafas normal.
2.      Kardiovaskular B2 (blood)
Tekanan darah rendah ( N=120/70 mmHg), takikardi (N=60-100 x/menit), suhu badan normal (36,5 oC), suara jantung vesikuler. Perfusi perifer baik, turgor kulit buruk, intake ≥2500 cc/hr, output= 3000 cc/hr, IWL = 500 cc/hr, klien tampak gelisah.
3.      Persyarafan B3 (brain)
Kadang pasien merasa pusing, bentuk kepala simetris, GCS= 4 5 6, pupil normal, orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik, pendengaran baik, penglihatan baik, penghidu baik.
4.      Perkemihan B4 (bladder)
Poliuria, urin sangat sangat encer ( 4- 30 liter ), tidak ada perubahan pola eliminasi, pasien mengeluh haus, konstipasi.
5.      Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan baik, tidak mual dan muntah, serta BAB 2 x/hr pagi dan sore. Tidak terjadi konstipasi
6.      Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Kulit bersih, turgor kulit buruk, muncul keringat dingin dan lembab, tidak ada nyeri otot dan persendian, cepat lelah.
C.     Pemeriksaan Diagnostik
1.      Gula darah acak didapatkan 160 mg/dl (gula darah acak normal 120-140 m/dl)
2.      Water Deprivation Test guna untuk menurunkan frekuensi yang berlebih.
3.      Osmolalitas urin 50-150 mosmol/L (normal= 300-450 mosmol/L).
4.      Osmolalitas plasma >295 mosmol/L (normal<290 mosmol/L).
5.      Urea N: <3 mg/dl. (normal= 3 - 7,5 mmol/L)
6.      Kreatinin serum: 75 IU/L. (normal<70 IU/L)
7.      Bilirubin direk: 0,08 mg/dl. (normal 0,1 - 0,3 mg/dl)
8.      Bilirubin total: 0,01 mg/dl. (normal 0,3 – 1 mg/dl)
9.      SGOT: 38 U/L. (normal 0 - 25 IU/L)
10.   SGPT: 18 U/L. (normal 0 - 25 IU/L)

3.2 Analisa Data
No
Data
Etiologi
Masalah Keperawatan
1.
a.       Data Subjektif  :
pasien mengatakan haus, badan terasa lesu. sering kencing (polyuria)
b.      Data Objektif   :intake= <2500 cc/hr, output= 3000 cc/hr, IWL = 500 cc/hr,  turgor kulit buruk, mukosa mulut kering dan mata cowong
Diabetes Insipidus

Hiperosmolaritas serum

Poliuria       Merangsang
haus

Pergantian air tidak adekuat


Volume cairan tubuh berkurang
Defisit volume cairan
2.
a.       Data Subjektif  : Pasien mengatakan tidak tahu tentang pengobatan dan perawatan penyakitnya.
b.      Data Objektif   :
Klien tidak mengikuti instruksi secara akurat
Riwayat Diabetes Insipidus keluarga

Minimnya informasi tentang pengobatan dan perawatan DI

Kurangnya pengetahuan
Kurangnya pengetahuan


3.3 Diagnosa Keperawatan
  1. Defisit volume cairan dalam tubuhberhubungan dengan ekskresi yang meningkat dan intake cairan yang tidak adekuat.
  2. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses penyakit, pengobatan dan perawatan diri.

3.4 Intervensi Keperawatan
Defisit volume cairan dalam tubuhberhubungan dengan ekskresi yang meningkat dan intake cairan yang tidak adekuat.
Tujuan               : Menyeimbangkan masukan dan pengeluaran cairan.
Kriteria Hasil    : Tidak ada tanda dehidrasi (turgor kulit baik,             mata tidak cowong).
                           TTV dalam batas normal (TD=120/70mmHg,            N=60-100x/menit, RR=20x/menit, S=37°C).
No
Intervensi
Rasional
1.Kaji pola berkemih seperti frekuensi dan jumlahnya. Bandingkan keluaran urin dan masukkan cairan.Mengidentifikasi fungsi kandung kemih (missal : pengosongan kandung kemih, fundsi ginjal dan keseimbangan cairan).
2.Kaji tanda-tanda vitalMengetahui keadaan umum pasien.
3.Observasi tanda-tanda dehidrasi, seperti turgor kulit buruk, mukosa mulut kering, mata cowong.Untuk mengidentifikasi tanda-tanda dehidrasi
4.Monitor intake dan outputUntuk melihat keseimbangan cairan
5.Palpasi adanya distensi kandung kemih dan observasi pengeluaran cairan.Disfungsi kandung kemih atau merilekskan sfingter urinarus.
6.Anjurkan pasien untuk minum / masukan cairan 2-4 liter/hari, dan terapi cairan sesuai dengang kebutuhan tubuh/indikasi.Membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan pembentukkan batu.
7.Bersihkan daerah perineum dan jaga agar tetap kering.Menurunkan resiko terjadinya iritasi kulit.
8.Berikan pengobatan sesuai indikasi. Seperti vitamin dan atau antiseptic urinarius serta terapi pemberian ADH.Mempertahakan lingkungan asam dan menghambat pertumbuhan bakteri.

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi mengenai proses penyakit, pengobatan dan perawatan diri.
Tujuan: Memberi pemahaman kepada pasien terhadap penyakit pasien
Kriteria Hasil: Klien mengatakan mengetahui tentang penyakit, pengobatan pada gejala-gejala yang timbul danmengikuti instrukasi yang diberikan secara akurat.
No.IntevensiRasional
1.Jelaskan tentang penyakit yang di derita klien.Memberi pemahaman kepada pasien
2.Berikan pendidikan kesehatan tentang nama obat, dosis, waktu dan cara pemakian, efek samping, cara mengukur intake output. Ajarkan pasien untuk menghindari minum kopi, teh dll..Memberi pemahaman kepada pasien
3.Jelaskan pentingnya tindak lanjut rawat jalan yang teratur.Agar pasien tahu pentingnyapemantauan penyakit





DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Beradero, Mary, Mary Wilfrid Dayrit dan Yakobus Siswandi. 2005. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hidayti, Afiyah. 2009. Askep Diabetes Insipidus. http://afiyahhidayti. wordpress.com. Diakses tanggal 13 Maret 2012 pukul 04.29 WIB.
Setyawati, Elis. 2011. Asuhan Keperawatan dengan Gangguan System Endokrin (Diabetes Insipidus). http://elissetyawati.wordpress.com/. Diakses tanggal 16 Maret 2012 pukul 11.01 WIB.
Suddart & Bruner. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Taylor, Cynthia M, dan Sheila Sparks Ralph. 2003. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Thamrin, Zulkifli Ukki. 2007. Diabetes Insipidus. http://zulkiflithamrin. blogspot.com/2007/06/diabetes-insipidus.html. Diakses tanggal 16 Maret 2012 pukul 11.46 WIB.
Tjokronegoro, Arjatmo. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi Ketiga. Jakarta: Balia Penerbit FKUI
Waspadji, Sarwono. 1996. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: FKUI
Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI



Demikianlah Artikel Diabetes Insipidus

Sekianlah artikel Diabetes Insipidus kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Diabetes Insipidus dengan alamat link https://askep-nursing.blogspot.com/2014/08/diabetes-insipidus.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar