Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren - Hallo sahabat askep, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel askep, Artikel askep pdf, Artikel asuhan keperawatan, Artikel Materi Belajar, Artikel Materi Kuliah, Artikel Perawat, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren
link : Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Baca juga


Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Asuhan Keperawatan Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Source: lakesla.com
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA




  1. Definisi diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2009).


Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”. Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes mellitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urin yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolut insulin atau penurunan sensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Disimpulkan bahwa DM merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang diakibatkan oleh ketidakadekuatan sekresi insulin maupun produksi insulin.

  1. Klasifikasi diabetes mellitus
Dokumen konsensus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, menjabarkan empat kategori utama diabetes, (Corwin, 2009) yaitu:
  1. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) (5-10%)
Sel β-pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Jenis DM ini diakibatkan karena faktor keturunan atau genetik.

  1. DM Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (95%)
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. DM tipe ini sering disebabkan karena faktor lifestyle yang buruk ataupun obesitas.

  1. DM Tipe Lain
DM tipe lain diakibatkan oleh kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan endokrin.

  1. Diabetes Kehamilan (DM Gestasional)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap DM.

  1. Etiologi diabetes mellitus
  1. Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 biasanya disebabkan oleh:
  1. Faktor genetik
Kecenderunggan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.

  1. Faktor imunologi
Adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.

  1. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pankreas.

  1. Diabetes mellitus tipe 2
Penyebab DM tipe II ini belum diketahui pasti, faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Namun, lifestyle  yang buruk seperti pola makan yang buruk, obesitas, dan kurangnya olahraga menjadi faktor pemicu tersering pada kasus DM tipe 2 (Price, 1995 dalam Indriastuti 2008).

  1. Manifestasi klinis diabetes mellitus
  1. DM tipe 1
  1. Hiperglikemia berpuasa
  2. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
  3. Keletihan dan kelemahan fisik (malaise)
  4. Ketoasidosis diabetikum (KAD) ditandai dengan mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau keton, perubahan tingkat kesadarn, koma, kematian
  5. Kesemutan

  1. DM tipe 2
  1. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
  2. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, poliuria, polidipsia, polifagia, luka pada kulit sembuh lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
  3. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer seperti kaki diabetik)

  1. Patofisiologi diabetes mellitus
  1. DM tipe 1
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel β - pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi pospandrial.

Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini tidak akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan  peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolic tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

  1. DM tipe 2
Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat pengingkatan jumlah insulin yang diekskresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

DM tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yan berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika akdar glukosa sangat tinggi).


  1. Web of Causation (WOC) diabetes mellitus


  1. Penatalaksanaan diabetes mellitus
Penatalaksanaan DM meliputi:
  1. Medis
Menurut Soegondo (2006), penatalaksanaan medis pada pasien dengan Diabetes Mellitus meliputi:
  1. Obat Hiperglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
  1. Pemicu sekresi insulin. Contoh: Sulfonylurea, glibenclamide, chlorpramide, glimepiride.
  2. Penambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh: Thiazolidinedione.
  3. Penghambat gluconeogenesis. Contoh: Metformin
  4. Penghambat glukosidase alfa. Contoh: Acarbose.

  1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
  1. Penurunan berat badan drastis
  2. Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis
  3. Ketoasidosis diabetic (KAD)
  4. Gangguan faal gunjal atau hati yang berat

  1. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

  1. Keperawatan
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), tujuan utama terapi pada diabetes mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Ada beberapa komponen dalam penatalaksan diabetes mellitus:
  1. Diet nutrisi dan kontrol berat badan
Diet dan pengendalian BB merupakan dasar untuk memberikan semua unsur makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah kadar glukosa darah yang tinggi dan menurunkan kadar lemak. Diet DM yaitu 3J tepat jumlah disesuaikan dengan jenis kelamin, berat badan, dan umur; jadwal teratur 3x sehari yaitu 3x makan utama dan 3x makan kecil (kudapan); jenis disesuaikan dengan makanan yang dianjurkan untuk Dmdan menghindari makanan pantangan seperti tinggi gula.

  1. Latihan atau olahraga
Berolahraga yang teratur akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian akdar insulin. Prinsip olahraga yang dianjurkan secara teratur adalah CRIPE (Continuous, Rhytmis, Interval, Progressive, and Endurance) sebagai berikut:
  1. Frekuensi : 3-5x seminggu
  2. Intensitas  : Ringan - sedang
  3. Durasi       : 30-60 menit / 5 x 30 menit / minggu
  4. Tipe          : Aerobik (jalan, joging, bersepeda)

  1. Pemantauan atau check up berkala
Pemantauan kadar gula darah secara mandiri diharapkan dapat mengatur terapi secara optimal.

  1. Terapi (jika diperlukan)
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari.

  1. Pendidikan kesehatan
Tujuan edukasi ini adalah supaya pasien dapat mempelajari keterampilan dalam melakukan penatalaksanaa diabetes secara mandiri dan mampu menhindari komplikasi.

  1. Kontrol nutrisi dan metabolik
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh dalam proses penyembuhan. Perlu monitor Hb diatas 12 gram/dl dan pertahankan albumin diatas 3.5 gram/dl. Diet pada penderita DM dengan selulitis atau gangrene dieprlukan protein yang tinggi yaitu dengan komposisi protein 20%, lemak 20%, dan karbohidrat 60%.

  1. Komplikasi diabetes mellitus
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes mellitus digolongkan akut dan kronik (Mansjoer et. al, 2007):
  1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka pendek dari glukosa darah

  1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula darah yang normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai keadaan. Salahs atu bentuk dari kegawatan hipoglikemik adalah koma hipoglikemik. Pada kasus spoor dan koma yang tidak diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pemberian glukosa. Koma hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin. Selain itu dapat pula disebabkan oleh karena terlambat makan atau olahraga berlebih. Diagnose dibuat dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemikterjadi bila akdar gula darah dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaan darah jari.

  1. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK adalah keadaan hiperglikemia dan hiperosmoliti tanpa terdapatnya ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg bahkan sampai 2000, tidak terdapat aseton, osmolitas darah melewati 350 mOsm per kilogram, tidak terdapat asidosis dan fungsi ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN banding kreatinin lebih dari 30:1, elektrolit natrium berkisar antara 100-150mEq per liter.

  1. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan:
  1. Makrovaskuler: mengenai sirkulasi koroner, vaskular perifer dan serebri
  2. Mikrovaskuer: retinopati, nefropati
  3. Penyakit neuropati, mengenai syaraf sensorik motorik dan autonomi serta menunjang masalah seperti impoten dan ulkus atau gangren pada kaki
  4. Rentan infeksi, seperti TB paru dan ISK (infeksi saluran kemih)


  1. Definisi HBOT
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA) terhadap tubuh sebagai bentuk pengobatan (Hariyanto et al, 2009).

Terapi oksigen hiperbarik merupakan sebuah terapi yang menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih besar daripada tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan tekanan ini bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace chamber maupun multiple chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al, 2004; Biomedical engineering, 2014).

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)
source: lakesla.com

Kondisi ruang terapi HBO harus memiliki tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan naik 1 atm. Setiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresid (Ali et al, 2004).

Meskipun banyak keuntungan yang diperoleh dari HBOT, cara ini pun juga mengandung risiko, sehingga harus dilaksanakan secara hari-hati sesuai prosedur yang berlaku, agar mencapai hasil yang maksimal dengan risiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

  1. Jenis Chamber HBOT
Ruangan hiperbarik dibedakan menjadi 4 yaitu:
  1. Monoplace chamber chamber yang digunakan untuk pengobatan satu orang penderita.
  2. Multiplace chamber chamber yang digunakan untuk pengobatan beberapa penderita pada waktu yang bersamaan dengan bantuan masker untuk setiap pasiennya.
  3. Animal chamber : chamber yang digunakan untuk penelitian khususnya untuk binatang (seperti mencit dan kelinci).
  4. Portable chamber : suatu jenis chamber yang dapat digunakan atau dibawa ke tempat kejadian (seperti hyperlite).

  1. Indikasi HBOT
Terapi HBO dapat diterapkan pada penyakit-penyakit berikut ini:
  1. Penyakit dekompresi (DCS)
  2. Aktinomikosis
  3. Emboli udara
  4. Anemia karena kehilangan banyak darah
  5. Insufisiensi arteri perifer akut
  6. Infkesi bakteri, gas gangren, ulkus diabetik
  7. Keracunan CO dan sianida
  8. Cangkok kulit
  9. Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob
  10. Osteoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
  11. Sistitis akibat radiasi dan ekstrasi gigi pada rahang yang diobati dengan radiateoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
  12. Kandiobolus koronutus
  13. Mukomikosis
  14. Osteomielitis
  15. Ujung amputasi yang tidak sembuh, luka tidak sembuh akibat hipoperfusi dan trauma lain, ulkus stasis refraktori
  16. Tromboangitis obliterans
  17. Inhalasi asap, luka bakar
  18. Ulkus yang terkait vaskulitis

  1. Kontraindikasi HBO
  1. Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi absolut adalah pneumothoraks yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothoraks tersebut (LAKESLA, 2009).

  1. Kontraindikasi relatif
  1. ISPA
  2. Sinusitis kronik
  3. Penyakit kejang
  4. Emfisema yang disertai retensi CO2
  5. Panas tinggi yang tidak terkontrol
  6. Riwayat pneumothoraks spontan
  7. Riwayat operasi dada dan telinga
  8. Infeksi virus
  9. Spherositosis kongenital
  10. Riwayat neuritis optik
  11. Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan atau pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009)

  1. Komplikasi HBO
  1. Barotrauma telinga, paru, dan gigi
  2. Keracunan oksigen
  3. Gangguan neurologis
  4. Fibroplasia retrolental
  5. Katarak
  6. Trantsientmiopia reversible

  1. Fisiologi terapi HBO
Terdapat 3 hukum yang Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu (Gill & Bell, 2004):
  1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume
Rumus à P1 V1 = PV2 = PV3
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang  harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi, seperti pneumothorakx yang terjadi selama pemberian tekanan.

  1. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan parsial dari masing-masing bagian gas.
Rumus à P = P1 + P+ P+ . . .

  1. Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanam parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap. Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan dengan pengobatan HBO. Implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert apda jarungan (terutama nitrogen) juga meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.

Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni:
  1. Hiperoksigenasi atau peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat dalam hemoglobin (Hb2O2), dimana 97% tersaturasi pada tekanan atmosfer, namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan Hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigen jaringan. Ketika menghirup udara normobarik, tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatan tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menajdi sekitar 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah (dibandingkan dengan 3 ml.l pada tekanan atmosfer), yang cukup untuk mendukung jaringan berisitirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak didalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang terhambat dimana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdaapt gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001).

  1. Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar untuk proses difusi oksigen dari darah ke jaringan. Keadaan tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik (Andrew, 2001).

  1. Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan.HBO juga biasanya meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradiakrdi serta menurunkan CO sebanyak 10-20%, dengan stroke volume masih dipelihara. Meskupun demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan oksigen plasma yang dua kali besar daripada baisanya (Gill dan Bell, 2004).

  1. Efek terhadap pertumbuhan bakteri (antimikroba). HBO yang meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh materi. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri microaerophilic.

  1. Efek pada perfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Apda reperfusion injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal. HBO mecegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau bahkan tungkai yang diimpantasi (Andrew, 2001).

  1. Manfaat terapi HBO
  1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang kurang (hiperoksigenasi).
  2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).
  3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti clostridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren).
  4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara lain bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.
  5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu.
  6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
  7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO.
  8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.
  9. Mereduksi edema.
  10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan menjaga elastisitas kulit.
  11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat, tidur lebih enakd an pulas (Amira et al, 2014).

  1. Peran perawat / tender dengan terapi HBO
  1. Pra terapi HBO
  1. Anamnesis (identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, kontraindikasi);
  2. Persiapan alat (masker, air minum, selimut, pispot);
  3. Pemeriksaan fisik lengkap;
  4. Pemeriksaan tambahan bila perlu; dan
  5. Informed consent (manfaat, proses, cara adaptasi ketika ada tekanan, benda-benda yang tidak boleh dibawa).
Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)
HBO

  1. Intra HBO
  1. Bantu transfer input pasien
  2. Safety klien
  3. Cek kembali barang-barang yang dibawa
  4. Ingatkan jangan terlambat valsavah secara benar
  5. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan O2
  6. Monitor keadaan umum pasien
  7. Koordinasi dengan operator atau dokter jika terjadi masalah

  1. Post HBO
  1. Bantu pasien keluar
  2. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan CO
  3. Lepas masker
  4. Rapikan/ bersihkan chamber
  5. Pendokumentasian

  1. Hubungan terapi HBO dengan diabetes mellitus
Gangren merupakan komplikasi kronik dari DM yang paling sering terjadi. Hal ini diperoleh akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan perubahan tekanan pada telapak kaki akibatnya mempermudah terjadinya gangren. Adanya kerentanan infeksi pada kasus DM gangren dapat menyebabkan infeksi tersebut menyebar keseluruh area luka (menjadi luas). Gangren ini merupakan kompliaksi akibat angiopati pembuluh darah yang diakibatkan karena adanya penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (utamanya di kaki). Perfusi jaringan distal (tungkai) yang kurang baik mengakibatkan gangren sulit diobati dan dapat berakibat fatal yaitu pada amputasi.

Terapi HBO pada dasarnya adalah memberikan oksigen 100% pada tekanan > 1 ATA. Terapi HBO ini merupakan indikasi pada penyakit nekrosis/hipoksia jaringan. Dengan paparan HBOT maka terjadi IFN-γ, i-NOS, dan VEGF. IFN-γ mengakibatkan TH-1 meningkat menstimulasi β-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Peningkatan Ig-G dapat berefek fagositosis, leukosit juga meningkat sehingga dapat membunuh bakteri anaerob pada area luka. Selain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovasSelain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovaskularisasi jaringan luka (angiogenesis) sehingga terjadilahaliran darah mikrovaskuler. Jika daerah gangren susi maka jaringan yang mengalami iskemik akan mendapatkan oksigen klmengalami iskemik akan mendapatkan oksigen lagi dan terjadi reperfusi jaringan karena banyak jaringan yang diikat oleh hemoglobin maupun terlarut dalam plasma. Sehingga oksigen yang dibawa hemoglobim dan plasma dialirkan ke seluruh jaringan tubuh sehinggadapat meningkatkan proses penyembuhan luka dan membunuh bakteri.

Disimpulkan bahwa terapi HBO sangat bermanfaat sebagai terapi alternatif pada pasien DM dengan gangren karena dapat membantu proses penyembuhan luka. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
  1. Memperbaiki hipoksia jaringan
  2. Meningkatkan daya bunuh leukosit
  3. Menghasilkan radikal bebas oksigen yang mematikan/menghambat pertumbuhan kuman
  4. Meningkatkan sensitivitas insulin
  5. Mempercepat angiogenesis
  6. Mempercepat replikasi sel fibroblast maupun produksi kolagen yang diperlukan untuk pembentukan jaringan baru.
  7. Vasokonstriksi
  8. Meningkatkan aktivitas osteoblast

  1. Asuhan keperawatan umum diabetes mellitus
  1. Pengkajian
  1. Identitas pasien : nama, umur (berpengaruh pada jenis DM: tipe I pada usia < 25 tahun, tipe II > 45 tahun), alamat, jenis kelamin, nomor RM, peekrjaan, diagnosa medis.
  2. Keluhan utama : keluhan klinis seperti luka pada kaki tidak kunjung sembuh, kaki terasa mati rasa)
  3. Riwayat penyakit sekarang : berisi perjalanan penyakit pasien sampai direkomendasikan HBOT (kapan mulai DM, kapan muncul gangren, dan apa penyebabnya)
  4. Riwayat penyakit dahulu : mengkaji beberapa penyakit yang pernah dialami dan memungkinkan menjadi hal yang dikontraindikasikan dalam HBOT
  5. Riwayat keluarga
  6. Pemeriksaan fisik
  1. Keadaan umum meliputi kondisi kesehatan pasien (lemah / baik), TTV
  2. ROS (review of system) meliputi B1 sampai B6 (breathing, blood, brain, bladder, bowel, bone and integumen)

  1. Pengkajian HBOT
  1. Pra HBOT
  1. Periksa TTV terutama tekanan darah (bila sistol mencapai > 180 mmHg atau diastol >100 mmHg maka aps00 mmHg maka pasien tidak diperbolehkan masuk chamber)
  2. Periksa ambang demam (suhu tidak boleh melebihi 38o celcius)
  3. Evaluasi tanda-tanda flu (batuk, pilek, sakit tenggorokan, mual, diare) tidak diperbolehkan masuk chamber
  4. Auskultasi lapang paru
  5. Lakukan uji glukosa darah pasien pada DM I
  6. Tes pada pasien dengan keracunan gas CO atau O2
  7. Observasi cedera orthopedic mum dan luka trauma
  8. Uji visus mata
  9. Mengkaji tingkat nyeri pasien dan claustrophobia
  10. Mengkaji status nutrisi teruitama pad pasien pada DM yang menjalani pengobatan

  1. Intra HBOT
  1. Mengamati gejala dan tanda barotrauma, keracunan O2 dan efek samping terapi HBO
  2. Menganjurkan pasien menggunakan tehnik valsava yang benar dan efektif
  3. Perlu mengingatkan pasien bahwa valsava hanya dieprlukan pada saat penekanan / kompresi, dan dapat bernapas normal selama terapi
  4. jika terjadi nyeri ringan sampai sedang maka hentikan kompresi hingga nyeri hilang, jika nyeri berlanjutkan maka pasien harus dikeluarkan dari chamber dan diperiksa oleh dokter THT
  5. Mencegah barotrauma GI dengan menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan
  6. Monitoring menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan
  7. Monitoring pasien selama dekompresi terutama selama dekompresi darurat
  8. Segera periksa gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia

  1. Post HBOT
    1. Jika terdapat tanda barotrauma maka uji ontologis
    2. Pada pasien DM tipe I maka tes gula darah
    3. Pada iskemik trauma akut , kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovas, kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovaskular, kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovaskular dan luka. Untuk DM gangren lakukan perawatan luka/debridement
    4. Pasien dengan intoksikasi CO segera lakukan tes psicometri / tingkat HbCO
    5. Pasien dengan DCS harus dilakukan uji neurologis
    6. Pasien yang mengkonsumsi obat ansietas selama terapi dilarang mengemudikan motor/mobil atau menghidupkan mesin
    7. Melakukan pendokumentasian pasien pasca HBO

  1. Diagnosa keperawatan HBOT
Terdapat 4 diagnosa utama diantara 14 diagnosa yang paling mungkin terjadi pada pasien HBOT, yaitu:
  1. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang HBOT dan prosedur perawatan
  2. Risiko cedera berhubungan dengan pasien transfer in/out dari RUBT (chamber), ledakan peralatan, kebakaran
  3. Risiko barotrauma (telinga, sinus, gigi,paru-paru) atau gas emboli serebri berhubungan dengan perubahan tekanan udara dalam RUBT (>1 ATA)
  4. Risiko keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian oksigen 100% selama tekanan atmosfer meningkat

  1. Intervensi keperawatan HBOT
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Ansietas
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam diharapkan ansietas pasien dapat diatasi, dengan kriteria hasil:
  1. Mengetahui alasan HBOT
  2. Pasien dapat mengungkapkan tujuan, prosedur, dan risiko HBOT
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Identifikasi pemahaman pasien/ keluarga tentang HBOT
  3. Berikan informasi tentang tujuan, prosedur, efek samping HBOT
  4. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
  5. Cek tekanan darah pasien
Intra HBOT
  1. Dampingi pasien
  2. Observasi keadaan dan respon pasien di dalam chamber
Post HBOT
  1. Dokumentasikan respon pasien setelah HBOT
Risiko Barotrauma
Tujuan: setelah dilaksanakan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam, diharapkan barotruma tidak terjadi pada pasien dengan kriteria hasil:
  1. Pasien tidak mengeluh nyeri pada telinga, sinus, gigi, dan paru-paru
  2. Tidak ditemukan tanda-tanda barotrauma pada pasien:
  1. Nyeri telinga, sinus, gigi, dan paru-paru
  2. Nyeri dada tajam, napas cepat
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Ajari pasien untuk valsava (pengosongan telinga) dengan cara menelan ludah, mengunyah permen, menggerakkan rahang keatas kebawah, menutup hidung dan mulut lalu meniupkan udara keluar dengan benar
  3. Cek tekanan darah pasien
Intra HBOT
  1. Kaji kemampuan pasien melakukan tehnik pengosongan telinga saat dilakukan penekanan
  2. Lakukan tindakan keperawatan:
  1. Ingatkan pasien untuk bernapas normal selama perubahan tekanan
  2. Beritahu operator jika pasien tidak dapat menyesuaikan perubahan tekanan (pusing, telinga sakit)
  1. Monitoring tanda dan gejala barotrauma
Post HBOT
  1. Dokumentasikan respon pasien terhadap terapi HBO
Risiko Cedera
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam maka cidera tidak akan terjadi, dengan kriteria hasil:
  1. Pasien keluar RUBT dengan kondisi aman
  2. Tidak terjadi kebakaran
  3. Tidak ditemukan cidera pada tubuh
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Bantu pasien masuk ke RUBT / chamber
  3. Ingatkan pasien mengenai barang-barang yang tidak boleh dibawa kedalam RUBT
Intra HBOT
  1. Amankan peralatan dalam RUBT sesuai kebijakan dan SOP
  2. Dampingi dan obeservasi kondisi pasien
Post HBOT
  1. Bantu pasien keluar RUBT / chamber

Keracunan Oksigen
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 jam, keracunan oksigen tidaka kan terjadi, dengan kriteria hasil:
  1. Pasien tidak mengeluh pusing
  2. Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan oksigen
  1. Mati rasa dab berkedut, vertigo
  2. Penglihatan kabur
  3. Mual
Pre HBOT
  1. Catat hasilpengkajian pasien dari dokter HBO meliputi tekanan darah, suhu, riwayat penggunaan obat kortikosteroid, riwayat kejang
Intra HBOT
  1. Monitor kondisi pasien saat terapi berlangsung
  2. Dampingi dan observasi tanda dan gejala keracunan oksigen
Post HBOT
  1. Beritahu dokter jika tanda dan gejala keracunan oksigen muncul

DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2009. Standar of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Suplement 1, Januari 2010, 11-61 diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/, pada tanggal 13 Maret 2014.  
Anani, S.,  Ari Udoyono, & Praba Ginanjar. 2012. Hubungan antara Perliaku Pengendalian Diabetes dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 466–478. Diakses dari Website: www.ejournals1.undip.ac.id
Brunner & Suddarth. 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (10th ed). Jakarta: EGC.
DiPiro et. al. 2008. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 dari  website : www.academia.edu.
Funnel, MM. 2010. National Satndards for Diabetes Self Management  Education_ Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Supp. 1, 89-96, Diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/ pada tanggal 13 Maret 2014.
Gibson, Jhon. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Guyton and Hall. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Homenta, Heriyannis. 2012. Diabetes Mellitus Tipe 1. Karya Tulis Biokimia Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Kimble, koda; Mary Anne; Young, Lloyd Yee; Alldredge, Brian K.; Corelli, Robin L.; Guglielmo, B. Joseph; Kradjan, Wayne A.; Williams, Bradley R. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Lanywati, Endang. 2011. Diabetes Mellitus : Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Lewis, L., Dirksen, R., Heitkemper, M., Bucher, L., & Camera, I. 2011. Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems (Vol. 2). USA : Saunders Elsevier Inc.
Mahdi, H., Sasongko, Siswanto, Daniel, H., Suharsono, Soepriyoto, Setiawan, Michael, S., Guntoro, Agus, S. 1999. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. LAKESLA
Manaf, Asman. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1890.
Soegondo S., dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Cetakan Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Kedua Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keenam Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ketujuh Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
RG, Frykberg, Armastrong DG, Giurini J., Edwards A., Kravette M., Kravitz S., Ross C., Stavosky J., Stuck R., Vanore J. 2000. Diabetic Foot Disorders: a Clinical Practice Guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons, 39 (5 suppl):S1-60.
Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:EGC.
Saraswati, Sylvia. 2009. Diet Sehat. Jogjakarta: A+Plus Books.
Soegondo,dkk. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soegondo, S., & Soewondo, P.S. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Studiawan, Herra, & Mulja Hadi Santoso. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Kedokteran Hewan Volume 21 Nomor 2, Mei 2005. Diakses dari Website : www.ejournal.litbang.depkes.go.id
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sutarno, AR. 2000. Kedokteran Hiperbarik. Senter hiperbarik RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta.
Topuz, E., Ozgur, Y., Ugur, C., Huseyin, S. 2004. Should hyperbaric oxygen be added to treatment in idiopathic sudden sensorineural hearing loss?. Eur Arch Otorhinolaryngol 261: 393-396.
U.S. Navy Department, 1975. U.S. Navy Diving Manual, Volume 1, Change 1. U.S. Government Printing Office, Washington, D.C. NAVSEA 099-LP-001-9010
. JAMA. 305 (20): 2071-9
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan : dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta : EGC.


Lampiran
Tabel HBOT digunakan untuk menentukan prosedur terapi sesuai dengan tujuan terapi. Pada tabel kindwall digunakan untuk kasus klinis dengan tekanan 2,4 ATA selama 3 x 30 menit dengan hisap oksigen 100% yang diselingi hisap udara 5 menit.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)


Gambar 2.1 Tabel kindwall (US Navy Department, 1975)
          

Pada kasus dekompresi menggunakan tabel 5 dan tabel 6. Dimana terdapat perbedaan prosedur dan lama terapi. HBOT pada DCS tipe 1 menggunakan tabel 5 (US Navy) jika 10 menit pertama saat TOHB gejala yang dirasakan tidak langsung hilang maka dapat dikembangkan terapi mempergunakan tabel 6 (US Navy). DCS tipe 2 memiliki gejala yang lebih berat dan memiliki kedaruratan medis yang tinggi. Gejalanya adalah kebingungan sampai dengan tidak sadarkan diri, kesulitan bernafas karena resiko aspirasi (masuk ke dalam paru-paru) air laut plus ditambah gejala DCS tipe 1. Tabel 5 dengan tekanan 18 meter dengan lama terapi 2 jam 16 menit.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

Gambar 2.2 Tabel 5 US Navy Recompression Treatment (US Navy Department, 1975)
           
 Pada tabel 6 lama terapi minimal 4 jam 45 menit dengan tekanan 18 meter.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

Gambar 2.3 Tabel 6 US Navy Recompression Treatment (US Navy Department, 1975)





Asuhan Keperawatan Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Source: lakesla.com
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA




  1. Definisi diabetes mellitus
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (American Diabetes Association, 2009).

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan”. Mellitus berasal dari bahasa latin yang bermakna manis atau madu. Penyakit diabetes mellitus dapat diartikan individu yang mengalirkan volume urin yang banyak dengan kadar glukosa tinggi. Diabetes mellitus adalah penyakit hiperglikemia yang ditandai dengan ketidakadaan absolut insulin atau penurunan sensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

Disimpulkan bahwa DM merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) yang diakibatkan oleh ketidakadekuatan sekresi insulin maupun produksi insulin.

  1. Klasifikasi diabetes mellitus
Dokumen konsensus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus, menjabarkan empat kategori utama diabetes, (Corwin, 2009) yaitu:
  1. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) (5-10%)
Sel β-pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Jenis DM ini diakibatkan karena faktor keturunan atau genetik.

  1. DM Tipe II : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) (95%)
Kondisi ini diakibatkan oleh penurunan sensitivitas terhadap insulin (resisten insulin) atau akibat penurunan jumlah pembentukan insulin. DM tipe ini sering disebabkan karena faktor lifestyle yang buruk ataupun obesitas.

  1. DM Tipe Lain
DM tipe lain diakibatkan oleh kelainan genetik, penyakit pankreas (trauma pankreatik), obat, infeksi, antibodi, sindroma penyakit lain, dan penyakit dengan karakteristik gangguan endokrin.

  1. Diabetes Kehamilan (DM Gestasional)
Diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap DM.

  1. Etiologi diabetes mellitus
  1. Diabetes mellitus tipe 1
DM tipe 1 biasanya disebabkan oleh:
  1. Faktor genetik
Kecenderunggan genetik ini ditentukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen tranplantasi dan proses imun lainnya.

  1. Faktor imunologi
Adanya suatu respon autoimun. Ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.

  1. Faktor lingkungan
Faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel β pankreas, sebagai contoh hasil penyelidikan menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang dapat menimbulkan destruksi sel β pankreas.

  1. Diabetes mellitus tipe 2
Penyebab DM tipe II ini belum diketahui pasti, faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Namun, lifestyle  yang buruk seperti pola makan yang buruk, obesitas, dan kurangnya olahraga menjadi faktor pemicu tersering pada kasus DM tipe 2 (Price, 1995 dalam Indriastuti 2008).

  1. Manifestasi klinis diabetes mellitus
  1. DM tipe 1
  1. Hiperglikemia berpuasa
  2. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
  3. Keletihan dan kelemahan fisik (malaise)
  4. Ketoasidosis diabetikum (KAD) ditandai dengan mual, nyeri abdomen, muntah, hiperventilasi, nafas bau keton, perubahan tingkat kesadarn, koma, kematian
  5. Kesemutan

  1. DM tipe 2
  1. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
  2. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, poliuria, polidipsia, polifagia, luka pada kulit sembuh lama, infeksi vaginal, penglihatan kabur
  3. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit vaskular perifer seperti kaki diabetik)

  1. Patofisiologi diabetes mellitus
  1. DM tipe 1
Pada DM tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel β - pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Selain itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemi pospandrial.

Konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisiensi insulin juga akan menggangu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (polifagia) akibat menurunnya asupan kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan. Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam-asam amino dan substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini tidak akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan  peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, nafas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolic tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering merupakan komponen terapi yang penting.

  1. DM tipe 2
Pada DM tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Cara untuk mengatasi resistensi insulin dan untuk mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat pengingkatan jumlah insulin yang diekskresikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe 2. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas DM tipe 2, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Oleh karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe 2. Meskipun demikian, DM tipe 2 yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

DM tipe 2 paling sering terjadi pada penderita diabetes yan berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoelransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan progresif, maka awitan DM tipe 2 dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelalahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan kabur (jika akdar glukosa sangat tinggi).


  1. Web of Causation (WOC) diabetes mellitus


  1. Penatalaksanaan diabetes mellitus
Penatalaksanaan DM meliputi:
  1. Medis
Menurut Soegondo (2006), penatalaksanaan medis pada pasien dengan Diabetes Mellitus meliputi:
  1. Obat Hiperglikemik Oral (OHO)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan:
  1. Pemicu sekresi insulin. Contoh: Sulfonylurea, glibenclamide, chlorpramide, glimepiride.
  2. Penambah sensitivitas terhadap insulin. Contoh: Thiazolidinedione.
  3. Penghambat gluconeogenesis. Contoh: Metformin
  4. Penghambat glukosidase alfa. Contoh: Acarbose.

  1. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
  1. Penurunan berat badan drastis
  2. Hiperglikemia berat yang disertai ketoasidosis
  3. Ketoasidosis diabetic (KAD)
  4. Gangguan faal gunjal atau hati yang berat

  1. Terapi kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah.

  1. Keperawatan
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), tujuan utama terapi pada diabetes mellitus adalah menormalkan aktifitas insulin dan kadar glukosa darah, sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi. Ada beberapa komponen dalam penatalaksan diabetes mellitus:
  1. Diet nutrisi dan kontrol berat badan
Diet dan pengendalian BB merupakan dasar untuk memberikan semua unsur makanan esensial, memenuhi kebutuhan energi, mencegah kadar glukosa darah yang tinggi dan menurunkan kadar lemak. Diet DM yaitu 3J tepat jumlah disesuaikan dengan jenis kelamin, berat badan, dan umur; jadwal teratur 3x sehari yaitu 3x makan utama dan 3x makan kecil (kudapan); jenis disesuaikan dengan makanan yang dianjurkan untuk Dmdan menghindari makanan pantangan seperti tinggi gula.

  1. Latihan atau olahraga
Berolahraga yang teratur akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian akdar insulin. Prinsip olahraga yang dianjurkan secara teratur adalah CRIPE (Continuous, Rhytmis, Interval, Progressive, and Endurance) sebagai berikut:
  1. Frekuensi : 3-5x seminggu
  2. Intensitas  : Ringan - sedang
  3. Durasi       : 30-60 menit / 5 x 30 menit / minggu
  4. Tipe          : Aerobik (jalan, joging, bersepeda)

  1. Pemantauan atau check up berkala
Pemantauan kadar gula darah secara mandiri diharapkan dapat mengatur terapi secara optimal.

  1. Terapi (jika diperlukan)
Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari.

  1. Pendidikan kesehatan
Tujuan edukasi ini adalah supaya pasien dapat mempelajari keterampilan dalam melakukan penatalaksanaa diabetes secara mandiri dan mampu menhindari komplikasi.

  1. Kontrol nutrisi dan metabolik
Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam penyembuhan luka. Adanya anemia dan hipoalbuminemia akan berpengaruh dalam proses penyembuhan. Perlu monitor Hb diatas 12 gram/dl dan pertahankan albumin diatas 3.5 gram/dl. Diet pada penderita DM dengan selulitis atau gangrene dieprlukan protein yang tinggi yaitu dengan komposisi protein 20%, lemak 20%, dan karbohidrat 60%.

  1. Komplikasi diabetes mellitus
Komplikasi yang berkaitan dengan kedua tipe diabetes mellitus digolongkan akut dan kronik (Mansjoer et. al, 2007):
  1. Komplikasi akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka pendek dari glukosa darah

  1. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kadar gula darah yang rendah. Kadar gula darah yang normal 60-100 mg% yang bergantung pada berbagai keadaan. Salahs atu bentuk dari kegawatan hipoglikemik adalah koma hipoglikemik. Pada kasus spoor dan koma yang tidak diketahui sebabnya maka harus dicurigai sebagai suatu hipoglikemik dan merupakan alasan untuk pemberian glukosa. Koma hipoglikemik biasanya disebabkan oleh overdosis insulin. Selain itu dapat pula disebabkan oleh karena terlambat makan atau olahraga berlebih. Diagnose dibuat dari tanda klinis dengan gejala hipoglikemikterjadi bila akdar gula darah dibawah 50 mg% atau 40 mg% pada pemeriksaan darah jari.

  1. Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK)
HHNK adalah keadaan hiperglikemia dan hiperosmoliti tanpa terdapatnya ketosis. Konsentrasi gula darah lebih dari 600 mg bahkan sampai 2000, tidak terdapat aseton, osmolitas darah melewati 350 mOsm per kilogram, tidak terdapat asidosis dan fungsi ginjal pada umumnya terganggu dimana BUN banding kreatinin lebih dari 30:1, elektrolit natrium berkisar antara 100-150mEq per liter.

  1. Komplikasi kronik
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan:
  1. Makrovaskuler: mengenai sirkulasi koroner, vaskular perifer dan serebri
  2. Mikrovaskuer: retinopati, nefropati
  3. Penyakit neuropati, mengenai syaraf sensorik motorik dan autonomi serta menunjang masalah seperti impoten dan ulkus atau gangren pada kaki
  4. Rentan infeksi, seperti TB paru dan ISK (infeksi saluran kemih)


  1. Definisi HBOT
Kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut (ATA) terhadap tubuh sebagai bentuk pengobatan (Hariyanto et al, 2009).

Terapi oksigen hiperbarik merupakan sebuah terapi yang menggunakan oksigen 100% di dalam suatu chamber dengan tekanan lebih besar daripada tekanan laut (satu atmosfer absolut / ATA). Peningkatan tekanan ini bersifat sistemik dan dapat diaplikasikan di dalam monoplace chamber maupun multiple chamber (Ali et al, 2004; Grill & Bell et al, 2004; Biomedical engineering, 2014).

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)
source: lakesla.com

Kondisi ruang terapi HBO harus memiliki tekanan udara yang lebih besar dibandingkan dengan tekanan di dalam jaringan tubuh (1 ATA). Keadaan ini dapat dialami seseorang pada waktu menyelam atau dalam ruang udara yang bertekanan tinggi (RUBT) yang dirancang baik untuk kasus penyelaman maupun pengobatan klinis. Setiap penurunan kedalaman 33 kaki (10 meter), tekanan akan naik 1 atm. Setiap terapi diberikan 2-3 ATA, menghasilkan 6 ml oksigen terlarut dalam 100 ml plasma dan durasi rata-rata terapi sekitar 60-90 menit. Dosis yang digunakan pada perawatan tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas tidak boleh lebih dari 3 ATA karena tidak aman bagi pasien selain berkaitan dengan lamanya perawatan yang dibutuhkan, juga dikatakan bahwa tekanan diatas 2,5 ATA mempunyai efek imunosupresid (Ali et al, 2004).

Meskipun banyak keuntungan yang diperoleh dari HBOT, cara ini pun juga mengandung risiko, sehingga harus dilaksanakan secara hari-hati sesuai prosedur yang berlaku, agar mencapai hasil yang maksimal dengan risiko minimal (Hariyanto et al, 2009).

  1. Jenis Chamber HBOT
Ruangan hiperbarik dibedakan menjadi 4 yaitu:
  1. Monoplace chamber chamber yang digunakan untuk pengobatan satu orang penderita.
  2. Multiplace chamber chamber yang digunakan untuk pengobatan beberapa penderita pada waktu yang bersamaan dengan bantuan masker untuk setiap pasiennya.
  3. Animal chamber : chamber yang digunakan untuk penelitian khususnya untuk binatang (seperti mencit dan kelinci).
  4. Portable chamber : suatu jenis chamber yang dapat digunakan atau dibawa ke tempat kejadian (seperti hyperlite).

  1. Indikasi HBOT
Terapi HBO dapat diterapkan pada penyakit-penyakit berikut ini:
  1. Penyakit dekompresi (DCS)
  2. Aktinomikosis
  3. Emboli udara
  4. Anemia karena kehilangan banyak darah
  5. Insufisiensi arteri perifer akut
  6. Infkesi bakteri, gas gangren, ulkus diabetik
  7. Keracunan CO dan sianida
  8. Cangkok kulit
  9. Infeksi jaringan lunak oleh kuman aerob dan anaerob
  10. Osteoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
  11. Sistitis akibat radiasi dan ekstrasi gigi pada rahang yang diobati dengan radiateoradiokenesis dan radionekrosis jaringan lunak
  12. Kandiobolus koronutus
  13. Mukomikosis
  14. Osteomielitis
  15. Ujung amputasi yang tidak sembuh, luka tidak sembuh akibat hipoperfusi dan trauma lain, ulkus stasis refraktori
  16. Tromboangitis obliterans
  17. Inhalasi asap, luka bakar
  18. Ulkus yang terkait vaskulitis

  1. Kontraindikasi HBO
  1. Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi absolut adalah pneumothoraks yang belum dirawat, kecuali bila sebelum pemberian oksigen hiperbarik dapat dikerjakan tindakan bedah untuk mengatasi pneumothoraks tersebut (LAKESLA, 2009).

  1. Kontraindikasi relatif
  1. ISPA
  2. Sinusitis kronik
  3. Penyakit kejang
  4. Emfisema yang disertai retensi CO2
  5. Panas tinggi yang tidak terkontrol
  6. Riwayat pneumothoraks spontan
  7. Riwayat operasi dada dan telinga
  8. Infeksi virus
  9. Spherositosis kongenital
  10. Riwayat neuritis optik
  11. Kerusakan paru asimptomatik yang ditentukan pada penerangan atau pemotretan dengan sinar X (LAKESLA, 2009)

  1. Komplikasi HBO
  1. Barotrauma telinga, paru, dan gigi
  2. Keracunan oksigen
  3. Gangguan neurologis
  4. Fibroplasia retrolental
  5. Katarak
  6. Trantsientmiopia reversible

  1. Fisiologi terapi HBO
Terdapat 3 hukum yang Terdapat 3 hukum yang berperan dalam terapi oksigen hiperbarik, yaitu (Gill & Bell, 2004):
  1. Hukum Boyle
Pada suhu tetap, tekanan berbanding terbalik dengan volume
Rumus à P1 V1 = PV2 = PV3
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik. Dasar ini terjadi ketika tuba eustachius tertutup mencegah pemerataan tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di telinga bagian tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara independen melakukan ekualisasi tekanan, tympanostomy harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang  harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran antara bagian dalam dan ruang telinga bagian luar. Demikian pula gas yang terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama dekompresi, seperti pneumothorakx yang terjadi selama pemberian tekanan.

  1. Hukum Dalton
Tekanan total suatu campuran gas adalah sama dengan jumlah tekanan parsial dari masing-masing bagian gas.
Rumus à P = P1 + P+ P+ . . .

  1. Hukum Henry
Jumlah gas terlarut dalam cairan atau jaringan berbanding lurus dengan tekanam parsial gas tersebut dalam cairan atau jaringan pada suhu yang tetap. Ini adalah dasar teori untuk meningkatkan tekanan oksigen jaringan dengan dengan pengobatan HBO. Implikasi pada kasus dimana seseorang bernafas menggunakan oksigen 100% bertekanan tinggi, sehingga konsentrasi gas inert apda jarungan (terutama nitrogen) juga meningkat. Nitrogen dapat larut dalam darah dan juga dapat keluar dari plasma membentuk emboli gas arterial selama fase dekompresi.

Fisiologi dari HBO bermacam-macam yakni:
  1. Hiperoksigenasi atau peningkatan jumlah oksigen terlarut dalam jaringan. Sebagian besar oksigen yang dibawa dalam darah terikat dalam hemoglobin (Hb2O2), dimana 97% tersaturasi pada tekanan atmosfer, namun beberapa oksigen dibawa oleh plasma. Pada bagian ini akan meningkat pada terapi hiperbarik sesuai dengan Hukum Henry yang akan memaksimalkan oksigen jaringan. Ketika menghirup udara normobarik, tekanan oksigen arteri adalah sekitar 100 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan sekitar 55 mmHg. Namun, oksigen 100% pada tekanan 3 ATA dapat meningkatan tekanan oksigen arteri 2000 mmHg, dan tekanan oksigen jaringan menajdi sekitar 500 mmHg, dan hal ini memungkinkan pengiriman 60 ml oksigen per liter darah (dibandingkan dengan 3 ml.l pada tekanan atmosfer), yang cukup untuk mendukung jaringan berisitirahat tanpa kontribusi dari hemoglobin. Karena oksigen terlarut banyak didalam plasma maka dapat menjangkau daerah-daerah yang terhambat dimana sel-sel darah merah tidak bisa lewat, dan juga dapat mengaktifkan oksigenasi jaringan bahkan meskipun terdaapt gangguan hemoglobin yang berperan dalam pengangkutan oksigen, seperti pada keracunan gas karbon monoksida dan anemia berat (Andrew, 2001).

  1. Peningkatan gradien difusi oksigen ke dalam jaringan. Tekanan partial oksigen yang tinggi dalam kapiler darah memberikan gradien yang besar untuk proses difusi oksigen dari darah ke jaringan. Keadaan tersebut sangat berguna untuk jaringan yang hipoksia akibat angiopati mikrovaskular seperti pada diabetes dan radiation necrosis. Selain itu HBO juga membantu menstimulasi angiogenesis dan mengatasi defek patologis primer karena penurunan infiltrasi leukosit dan vasokonstriksi dalam jaringan iskemik (Andrew, 2001).

  1. Vasokonstriksi arteriolar. Hyperoxic menyebabkan vasokonstriksi yang cepat dan signifikan pada sebagian besar jaringan.HBO juga biasanya meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bradiakrdi serta menurunkan CO sebanyak 10-20%, dengan stroke volume masih dipelihara. Meskupun demikian, hal ini masih dikompensasi oleh peningkatan pengangkutan oksigen plasma yang dua kali besar daripada baisanya (Gill dan Bell, 2004).

  1. Efek terhadap pertumbuhan bakteri (antimikroba). HBO yang meningkatkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang mengoksidasi protein dan lipid membran, yang kemudian akan menyebabkan kerusakan DNA sehingga mencegah multiplikasi, menghambat fungsi metabolisme bakteri serta memfasilitasi sistem peroksidase yang digunakan leukosit untuk membunuh materi. HBO sangat efektif terhadap bakteri anaerob dan bakteri microaerophilic.

  1. Efek pada perfusion injury. HBO menstimulasi pertahanan melawan radikal bebas oksigen dan peroksidase lipid yang terjadi. Apda reperfusion injury, leukosit menempel pada endotel venule, kemudian terjadi pengeluaran unidentified humoral mediators yang menyebabkan konstriksi arteriol lokal. HBO mecegah proses tersebut dengan memperbaiki hidup dari kulit atau bahkan tungkai yang diimpantasi (Andrew, 2001).

  1. Manfaat terapi HBO
  1. Meningkatkan konsentrasi oksigen pada seluruh jaringan tubuh, bahkan pada aliran darah yang kurang (hiperoksigenasi).
  2. Merangsang pertumbuhan pembuluh darah baru untuk meningkatkan aliran darah pada sirkulasi yang berkurang sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan pembentukan fibroblast (neovaskularisasi).
  3. Mampu membunuh bakteri, terutama bakteri anaerob seperti clostridium perfingens (penyebab penyakit gas gangren).
  4. Mampu menghentikan aktivitas bakteri (bakteriostatik) anatara lain bakteri E. coli dan Pseudomonas sp. yang umumnya ditemukan pada luka-luka mengganas.
  5. Mampu menghambat produksi racun alfa toksin dengan meningkatkan produksi antioksidan tubuh tertentu.
  6. Meningkatkan viabilitas sel atau kemampuan sel untuk bertahan hidup.
  7. Menurunkan waktu paruh karboksihemoglobin dari 5 jam menjadi 20 menit pada penyakit keracunan gas CO.
  8. Mereduksi ukuran bubble nitrogen.
  9. Mereduksi edema.
  10. Menahan proses penuaan dengan cara pembentukan kolagen dan menjaga elastisitas kulit.
  11. Badan menjadi lebih segar, badan tidak mudah lelah, gairah hidup meningkat, tidur lebih enakd an pulas (Amira et al, 2014).

  1. Peran perawat / tender dengan terapi HBO
  1. Pra terapi HBO
  1. Anamnesis (identitas, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, kontraindikasi);
  2. Persiapan alat (masker, air minum, selimut, pispot);
  3. Pemeriksaan fisik lengkap;
  4. Pemeriksaan tambahan bila perlu; dan
  5. Informed consent (manfaat, proses, cara adaptasi ketika ada tekanan, benda-benda yang tidak boleh dibawa).
Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)
HBO

  1. Intra HBO
  1. Bantu transfer input pasien
  2. Safety klien
  3. Cek kembali barang-barang yang dibawa
  4. Ingatkan jangan terlambat valsavah secara benar
  5. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan O2
  6. Monitor keadaan umum pasien
  7. Koordinasi dengan operator atau dokter jika terjadi masalah

  1. Post HBO
  1. Bantu pasien keluar
  2. Monitor tanda-tanda barotraumas, keracunan CO
  3. Lepas masker
  4. Rapikan/ bersihkan chamber
  5. Pendokumentasian

  1. Hubungan terapi HBO dengan diabetes mellitus
Gangren merupakan komplikasi kronik dari DM yang paling sering terjadi. Hal ini diperoleh akibat peningkatan kadar gula darah yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan perubahan tekanan pada telapak kaki akibatnya mempermudah terjadinya gangren. Adanya kerentanan infeksi pada kasus DM gangren dapat menyebabkan infeksi tersebut menyebar keseluruh area luka (menjadi luas). Gangren ini merupakan kompliaksi akibat angiopati pembuluh darah yang diakibatkan karena adanya penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer (utamanya di kaki). Perfusi jaringan distal (tungkai) yang kurang baik mengakibatkan gangren sulit diobati dan dapat berakibat fatal yaitu pada amputasi.

Terapi HBO pada dasarnya adalah memberikan oksigen 100% pada tekanan > 1 ATA. Terapi HBO ini merupakan indikasi pada penyakit nekrosis/hipoksia jaringan. Dengan paparan HBOT maka terjadi IFN-γ, i-NOS, dan VEGF. IFN-γ mengakibatkan TH-1 meningkat menstimulasi β-cell sehingga terjadi peningkatan Ig-G. Peningkatan Ig-G dapat berefek fagositosis, leukosit juga meningkat sehingga dapat membunuh bakteri anaerob pada area luka. Selain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovasSelain itu dengan pemberian oksigen hiperbarik maka akan terjadi neovaskularisasi jaringan luka (angiogenesis) sehingga terjadilahaliran darah mikrovaskuler. Jika daerah gangren susi maka jaringan yang mengalami iskemik akan mendapatkan oksigen klmengalami iskemik akan mendapatkan oksigen lagi dan terjadi reperfusi jaringan karena banyak jaringan yang diikat oleh hemoglobin maupun terlarut dalam plasma. Sehingga oksigen yang dibawa hemoglobim dan plasma dialirkan ke seluruh jaringan tubuh sehinggadapat meningkatkan proses penyembuhan luka dan membunuh bakteri.

Disimpulkan bahwa terapi HBO sangat bermanfaat sebagai terapi alternatif pada pasien DM dengan gangren karena dapat membantu proses penyembuhan luka. Adapun manfaatnya sebagai berikut:
  1. Memperbaiki hipoksia jaringan
  2. Meningkatkan daya bunuh leukosit
  3. Menghasilkan radikal bebas oksigen yang mematikan/menghambat pertumbuhan kuman
  4. Meningkatkan sensitivitas insulin
  5. Mempercepat angiogenesis
  6. Mempercepat replikasi sel fibroblast maupun produksi kolagen yang diperlukan untuk pembentukan jaringan baru.
  7. Vasokonstriksi
  8. Meningkatkan aktivitas osteoblast

  1. Asuhan keperawatan umum diabetes mellitus
  1. Pengkajian
  1. Identitas pasien : nama, umur (berpengaruh pada jenis DM: tipe I pada usia < 25 tahun, tipe II > 45 tahun), alamat, jenis kelamin, nomor RM, peekrjaan, diagnosa medis.
  2. Keluhan utama : keluhan klinis seperti luka pada kaki tidak kunjung sembuh, kaki terasa mati rasa)
  3. Riwayat penyakit sekarang : berisi perjalanan penyakit pasien sampai direkomendasikan HBOT (kapan mulai DM, kapan muncul gangren, dan apa penyebabnya)
  4. Riwayat penyakit dahulu : mengkaji beberapa penyakit yang pernah dialami dan memungkinkan menjadi hal yang dikontraindikasikan dalam HBOT
  5. Riwayat keluarga
  6. Pemeriksaan fisik
  1. Keadaan umum meliputi kondisi kesehatan pasien (lemah / baik), TTV
  2. ROS (review of system) meliputi B1 sampai B6 (breathing, blood, brain, bladder, bowel, bone and integumen)

  1. Pengkajian HBOT
  1. Pra HBOT
  1. Periksa TTV terutama tekanan darah (bila sistol mencapai > 180 mmHg atau diastol >100 mmHg maka aps00 mmHg maka pasien tidak diperbolehkan masuk chamber)
  2. Periksa ambang demam (suhu tidak boleh melebihi 38o celcius)
  3. Evaluasi tanda-tanda flu (batuk, pilek, sakit tenggorokan, mual, diare) tidak diperbolehkan masuk chamber
  4. Auskultasi lapang paru
  5. Lakukan uji glukosa darah pasien pada DM I
  6. Tes pada pasien dengan keracunan gas CO atau O2
  7. Observasi cedera orthopedic mum dan luka trauma
  8. Uji visus mata
  9. Mengkaji tingkat nyeri pasien dan claustrophobia
  10. Mengkaji status nutrisi teruitama pad pasien pada DM yang menjalani pengobatan

  1. Intra HBOT
  1. Mengamati gejala dan tanda barotrauma, keracunan O2 dan efek samping terapi HBO
  2. Menganjurkan pasien menggunakan tehnik valsava yang benar dan efektif
  3. Perlu mengingatkan pasien bahwa valsava hanya dieprlukan pada saat penekanan / kompresi, dan dapat bernapas normal selama terapi
  4. jika terjadi nyeri ringan sampai sedang maka hentikan kompresi hingga nyeri hilang, jika nyeri berlanjutkan maka pasien harus dikeluarkan dari chamber dan diperiksa oleh dokter THT
  5. Mencegah barotrauma GI dengan menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan
  6. Monitoring menganjurkan pasien bernapas normal dan menghindari makan atau minum bergas sebelum perawatan
  7. Monitoring pasien selama dekompresi terutama selama dekompresi darurat
  8. Segera periksa gula darah jika terdapat tanda hipoglikemia

  1. Post HBOT
    1. Jika terdapat tanda barotrauma maka uji ontologis
    2. Pada pasien DM tipe I maka tes gula darah
    3. Pada iskemik trauma akut , kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovas, kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovaskular, kompartemen sindrom, nekrosis, post implant maka harus dinilai status neurovaskular dan luka. Untuk DM gangren lakukan perawatan luka/debridement
    4. Pasien dengan intoksikasi CO segera lakukan tes psicometri / tingkat HbCO
    5. Pasien dengan DCS harus dilakukan uji neurologis
    6. Pasien yang mengkonsumsi obat ansietas selama terapi dilarang mengemudikan motor/mobil atau menghidupkan mesin
    7. Melakukan pendokumentasian pasien pasca HBO

  1. Diagnosa keperawatan HBOT
Terdapat 4 diagnosa utama diantara 14 diagnosa yang paling mungkin terjadi pada pasien HBOT, yaitu:
  1. Ansietas berhubungan dengan defisit pengetahuan tentang HBOT dan prosedur perawatan
  2. Risiko cedera berhubungan dengan pasien transfer in/out dari RUBT (chamber), ledakan peralatan, kebakaran
  3. Risiko barotrauma (telinga, sinus, gigi,paru-paru) atau gas emboli serebri berhubungan dengan perubahan tekanan udara dalam RUBT (>1 ATA)
  4. Risiko keracunan oksigen berhubungan dengan pemberian oksigen 100% selama tekanan atmosfer meningkat

  1. Intervensi keperawatan HBOT
Diagnosa Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Ansietas
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam diharapkan ansietas pasien dapat diatasi, dengan kriteria hasil:
  1. Mengetahui alasan HBOT
  2. Pasien dapat mengungkapkan tujuan, prosedur, dan risiko HBOT
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Identifikasi pemahaman pasien/ keluarga tentang HBOT
  3. Berikan informasi tentang tujuan, prosedur, efek samping HBOT
  4. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
  5. Cek tekanan darah pasien
Intra HBOT
  1. Dampingi pasien
  2. Observasi keadaan dan respon pasien di dalam chamber
Post HBOT
  1. Dokumentasikan respon pasien setelah HBOT
Risiko Barotrauma
Tujuan: setelah dilaksanakan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam, diharapkan barotruma tidak terjadi pada pasien dengan kriteria hasil:
  1. Pasien tidak mengeluh nyeri pada telinga, sinus, gigi, dan paru-paru
  2. Tidak ditemukan tanda-tanda barotrauma pada pasien:
  1. Nyeri telinga, sinus, gigi, dan paru-paru
  2. Nyeri dada tajam, napas cepat
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Ajari pasien untuk valsava (pengosongan telinga) dengan cara menelan ludah, mengunyah permen, menggerakkan rahang keatas kebawah, menutup hidung dan mulut lalu meniupkan udara keluar dengan benar
  3. Cek tekanan darah pasien
Intra HBOT
  1. Kaji kemampuan pasien melakukan tehnik pengosongan telinga saat dilakukan penekanan
  2. Lakukan tindakan keperawatan:
  1. Ingatkan pasien untuk bernapas normal selama perubahan tekanan
  2. Beritahu operator jika pasien tidak dapat menyesuaikan perubahan tekanan (pusing, telinga sakit)
  1. Monitoring tanda dan gejala barotrauma
Post HBOT
  1. Dokumentasikan respon pasien terhadap terapi HBO
Risiko Cedera
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan HBOT selama 2 jam maka cidera tidak akan terjadi, dengan kriteria hasil:
  1. Pasien keluar RUBT dengan kondisi aman
  2. Tidak terjadi kebakaran
  3. Tidak ditemukan cidera pada tubuh
Pre HBOT
  1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien
  2. Bantu pasien masuk ke RUBT / chamber
  3. Ingatkan pasien mengenai barang-barang yang tidak boleh dibawa kedalam RUBT
Intra HBOT
  1. Amankan peralatan dalam RUBT sesuai kebijakan dan SOP
  2. Dampingi dan obeservasi kondisi pasien
Post HBOT
  1. Bantu pasien keluar RUBT / chamber

Keracunan Oksigen
Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2 jam, keracunan oksigen tidaka kan terjadi, dengan kriteria hasil:
  1. Pasien tidak mengeluh pusing
  2. Tidak ditemukan tanda-tanda keracunan oksigen
  1. Mati rasa dab berkedut, vertigo
  2. Penglihatan kabur
  3. Mual
Pre HBOT
  1. Catat hasilpengkajian pasien dari dokter HBO meliputi tekanan darah, suhu, riwayat penggunaan obat kortikosteroid, riwayat kejang
Intra HBOT
  1. Monitor kondisi pasien saat terapi berlangsung
  2. Dampingi dan observasi tanda dan gejala keracunan oksigen
Post HBOT
  1. Beritahu dokter jika tanda dan gejala keracunan oksigen muncul

DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2009. Standar of Medical Care in Diabetes 2010. Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Suplement 1, Januari 2010, 11-61 diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/, pada tanggal 13 Maret 2014.  
Anani, S.,  Ari Udoyono, & Praba Ginanjar. 2012. Hubungan antara Perliaku Pengendalian Diabetes dan Kadar Glukosa Darah Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 466–478. Diakses dari Website: www.ejournals1.undip.ac.id
Brunner & Suddarth. 2002. Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. (10th ed). Jakarta: EGC.
DiPiro et. al. 2008. Etiologi dan Klasifikasi Diabetes Mellitus. Diakses pada tanggal 12 Maret 2014 dari  website : www.academia.edu.
Funnel, MM. 2010. National Satndards for Diabetes Self Management  Education_ Journal of Diabetes Care, Vol. 33, Supp. 1, 89-96, Diperoleh dari http://care.diabetesjournal.org/ pada tanggal 13 Maret 2014.
Gibson, Jhon. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Guyton and Hall. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Homenta, Heriyannis. 2012. Diabetes Mellitus Tipe 1. Karya Tulis Biokimia Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Kimble, koda; Mary Anne; Young, Lloyd Yee; Alldredge, Brian K.; Corelli, Robin L.; Guglielmo, B. Joseph; Kradjan, Wayne A.; Williams, Bradley R. 2009. Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 9th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
Lanywati, Endang. 2011. Diabetes Mellitus : Penyakit Kencing Manis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Lewis, L., Dirksen, R., Heitkemper, M., Bucher, L., & Camera, I. 2011. Medical Surgical Nursing : Assesment and Management of Clinical Problems (Vol. 2). USA : Saunders Elsevier Inc.
Mahdi, H., Sasongko, Siswanto, Daniel, H., Suharsono, Soepriyoto, Setiawan, Michael, S., Guntoro, Agus, S. 1999. Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik. LAKESLA
Manaf, Asman. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal 1890.
Soegondo S., dkk. 2007. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Cetakan Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Pearce, Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Kedua Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Keenam Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi Ketujuh Volume 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
RG, Frykberg, Armastrong DG, Giurini J., Edwards A., Kravette M., Kravitz S., Ross C., Stavosky J., Stuck R., Vanore J. 2000. Diabetic Foot Disorders: a Clinical Practice Guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons, 39 (5 suppl):S1-60.
Rumahorbo, Hotma.1999. Asuhan Keperawatan klien dengan Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta:EGC.
Saraswati, Sylvia. 2009. Diet Sehat. Jogjakarta: A+Plus Books.
Soegondo,dkk. 2009. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soegondo, S., & Soewondo, P.S. 2011. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta : Pusat Diabetes dan Lipid RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Studiawan, Herra, & Mulja Hadi Santoso. 2005. Uji Aktivitas Penurun Kadar Glukosa Darah Ekstrak Daun Eugenia polyantha pada Mencit yang Diinduksi Aloksan. Jurnal Kedokteran Hewan Volume 21 Nomor 2, Mei 2005. Diakses dari Website : www.ejournal.litbang.depkes.go.id
Syaifuddin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan. Ed. 2. Jakarta: Salemba Medika.
Sutarno, AR. 2000. Kedokteran Hiperbarik. Senter hiperbarik RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta.
Topuz, E., Ozgur, Y., Ugur, C., Huseyin, S. 2004. Should hyperbaric oxygen be added to treatment in idiopathic sudden sensorineural hearing loss?. Eur Arch Otorhinolaryngol 261: 393-396.
U.S. Navy Department, 1975. U.S. Navy Diving Manual, Volume 1, Change 1. U.S. Government Printing Office, Washington, D.C. NAVSEA 099-LP-001-9010
. JAMA. 305 (20): 2071-9
Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan : dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta : EGC.


Lampiran
Tabel HBOT digunakan untuk menentukan prosedur terapi sesuai dengan tujuan terapi. Pada tabel kindwall digunakan untuk kasus klinis dengan tekanan 2,4 ATA selama 3 x 30 menit dengan hisap oksigen 100% yang diselingi hisap udara 5 menit.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)


Gambar 2.1 Tabel kindwall (US Navy Department, 1975)
          

Pada kasus dekompresi menggunakan tabel 5 dan tabel 6. Dimana terdapat perbedaan prosedur dan lama terapi. HBOT pada DCS tipe 1 menggunakan tabel 5 (US Navy) jika 10 menit pertama saat TOHB gejala yang dirasakan tidak langsung hilang maka dapat dikembangkan terapi mempergunakan tabel 6 (US Navy). DCS tipe 2 memiliki gejala yang lebih berat dan memiliki kedaruratan medis yang tinggi. Gejalanya adalah kebingungan sampai dengan tidak sadarkan diri, kesulitan bernafas karena resiko aspirasi (masuk ke dalam paru-paru) air laut plus ditambah gejala DCS tipe 1. Tabel 5 dengan tekanan 18 meter dengan lama terapi 2 jam 16 menit.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

Gambar 2.2 Tabel 5 US Navy Recompression Treatment (US Navy Department, 1975)
           
 Pada tabel 6 lama terapi minimal 4 jam 45 menit dengan tekanan 18 meter.

Konsep Terapi Hiperbarik Oksigen (HBO)

Gambar 2.3 Tabel 6 US Navy Recompression Treatment (US Navy Department, 1975)









Demikianlah Artikel Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren

Sekianlah artikel Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Askep Terapi Hiperbarik Oksigen pada Pasien dengan Diabetes Mellitus dan Gangren dengan alamat link https://askep-nursing.blogspot.com/2018/03/askep-terapi-hiperbarik-oksigen-pada.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar