LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA

LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA - Hallo sahabat askep, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Keperawatan, Artikel KMB 1, Artikel Laporan Pendahuluan, Artikel Laporan Pendahuluan Sistem Pernafasan, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA
link : LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA

Baca juga


LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA



A.    PENGERTIAN
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika pasien mengalami gejala, fungsi paru sering sudah mengalami kerusakan yang ireversibel. Dibarengi dengan bronchitis obstruksi kronik, kondisi ini merupakan penyebab utama kecacatan.
Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling  berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara). Definisi emfisema menurut beberapa ahli :
1.      Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Kus Irianto, 2004, hlm. 216).
2.      Emfisema merupakan morfologik didefisiensi sebagai pembesaran abnormal ruang-ruang udara distal dari bronkiolus terminal dengan desruksi dindingnya (Robbins, 1994, hlm. 253).
3.      Emfisema adalah penyakit obtruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas permukaan alveoli (Corwin, 2000, hlm. 435).
4.      Empisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus atau perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai pelebaran dinding alveolus, duktus alveolaris dan destruksi dinding alveolar (The American Thorack society 1962).
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru yang ditandai oleh pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan, maka itu “bukan termasuk emfisema”. Namun, keadaan tersebut hanya sebagai ‘overinflation’.
Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Akibatnya, tubuh tidak mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas. Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas. Penyebab paling umum adalah merokok.
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru ini

Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan perubahan yang terjadi dalam paru-paru :
1)      PLE (Panlobular Emphysema / panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan umumnya juga merusak paru-paru bagian bawah. Terjadi kerusakan bronkus pernapasan, duktus alveolar, dan alveoli. Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik.
Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin.Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack, 1983). Semua ruang udara di dalam lobus sedikit banyak membesar, dengan sedikit penyakit inflamasi. Ciri khasnya yaitu memiliki dada yang hiperinflasi dan ditandai oleh dispnea saat aktivitas, dan penurunan berat badan. Tipe ini sering disebut centriacinar emfisema, sering kali timbul pada perokok.
2)      CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar)
Perubahan patologi terutama terjadi pada pusat lobus sekunder, dan perifer dari asinus tetap baik. Merupakan tipe yang sering muncul dan memperlihatkan kerusakan bronkhiolus, biasanya pada daerah paru-paru atas. Inflamasi merambah sampai bronkhiolus tetapi biasanya kantung alveolus tetap bersisa. CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. Seringkali terjadi kekacauan rasio perfusi-ventilasi, yang menimbulkan hipoksia, hiperkapnia (peningkatan CO2 dalam darah arteri), polisitemia, dan episode gagal jantung sebelah kanan. Kondisi mengarah pada sianosis, edema perifer, dan gagal napas. CLE lebih banyak ditemukan pada pria, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok (Sylvia A. Price 1995).
3)      Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi blebs (udara dalam alveoli) sepanjang perifer paru-paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mukus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.

B.     ETIOLOGI
 Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat  predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas  protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok,  polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik. Sangat penting bahwa karier genetik ini harus diidentifikasikan untuk memungkinkan modifikasi faktor-faktor lingkungan untuk menghambat atau mencegah timbulnya gejala-gejala penyakit. Konseling genetik  juga harus diberikan.

C.    FAKTOR PENCETUS
Beberapa hal yang dapat menyebabkan emfisema paru yaitu :
1)      Faktor Genetik
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2)      Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan.Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3)      Rokok
Rokok adalah penyebab utama timbulnya emfisema paru. Rokok secara patologis dapat menyebabkan gangguan pergerakan silia pada jalan nafas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan.
4)      Infeksi
Infeksi saluran nafas akan menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanya lebih berat. Penyakit infeksi saluran nafas seperti pneumonia, bronkiolitis akut dan asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan nafas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronkitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5)      Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6)      Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
7)      Pengaruh usia
8)      Obstruksi Jalan Nafas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada ekspirasi. Etiologinya adalah benda asing di dalam lumen dengan reaksi local, tumor intrabronkial di mediastinum, konginetal. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat di sebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.

D.    PATOFISIOLOGI
Menurut Lewis merokok dalam jangka waktu  yang lama dapat  mengakibatkan  gangguan  langsung terhadap  saluran  pernafasan.  Terjadinya  iritasi  merupakan  efek  dari merokok  yang menyebabkan  hiperplasia  pada sel-sel  paru  dan bertambahnya  sel-sel  goblet,  yang  mana  kemudian  berakibat  pada  meningkatnya  produksi  sekret.  Merokok  juga  menyebabkan  dilatasi  saluran  udara  distal  dengan kerusakan  dinding  alveolus (Lewis, 2000 : 682).
Menurut Smeltzer faktor  keluarga merupakan  salah satu  faktor  pendukung  terjadinya  emfisema  berhubungan dengan  tidak normalnya  protein  plasma,  kekurangan  Alpha  1-antitipsin (AAT)  yang  menghalangi  kerja  enzim  protease,  orang-orang  tertentu  dapat  mengalami  defisiensi  alpha 1-antitripsin  yang  diturunkan  secara  resisif  atosomal.  (Smeltzer, 2000:453).
Menurut Cherniack, “Alpha  1-antitripsin (AAT)  adalah  antiprotease,  diperkirakan  sangat  penting  untuk  perlindungan  terhadap  protease  yang terbentuk  secara alami.  Protease  dihasilkan  oleh  bakteria,  dan  magrofag  sewaktu  fagositosis  berlangsung  dan mempunyai kemampuan  memecahkan  elastin  dan makromolekul lain pada jaringan  paru.  Merokok  dapat  mengakibatkan  respon  peradangan  sehingga  menyebabkan  pelepasan  enzim  proteolitik (proteose).  Bersamaan  dengan itu  oksidan  pada asap  menghambat  alpha  1-antiripsin” (  Price  dan  Loraine,  1995 : 692).
Emfisema merupakan kelainan di mana terjadi kerusakan pada dinding alveolus yang akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara. Perjalanan udara akan tergangu akibat dari perubahan ini. Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya kekurangan fungsi jaringan paru-paru untuk melakukan pertukaran O2 dan CO2. Kesulitan selama ekspirasi pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum) di antara alveoli, jalan nafas kolaps sebagian, dan kehilangan elastisitas untuk mengerut atau recoil. Pada saat alveoli dan septum kolaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolus yang disebut blebs dan di antara parenkim paru-paru yang disebut bullae. Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada ‘dead space’ atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru-paru, selanjutnya terjadi penurunan perfusi O2 dan penurunan ventilasi. Emfisema masih dianggap normal jika sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada pasien yang berusia muda biasanya berhubungan dengan bronkhitis dan merokok.
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada, akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstrusi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

E.     PATHWAY


F.     MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru.Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55 tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia. Manifestasi klinis Emfisema :
1.      Dispnea
2.      Pada inspeksi: bentuk dada ‘burrel chest’
3.      Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-
otot aksesori pernapasan (sternokleidomastoid)
4.      Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang
paru.
5.      Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
6.       Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan umum
7.      Distensi vena leher selama ekspirasi.

G.    PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.      Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
a.       Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b.       Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2.       Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.      Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4.      Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
a)      Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b)      Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c)      TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema.
d)     Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e)      Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f)        FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
g)      GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h)      JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
i)        Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
j)        Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k)      EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
l)        EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.
H.    PENATALAKSANAAN  MEDIS DAN PERAWATAN
Tujuan utama pengobatan adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, untuk memperlambat kemajuan proses penyakit, dan untuk mengatasi obstruksi jalan nafas untuk menghilangkan hipoksia.
1.    Bronkodilator
Digunakan untuk mendilatasi jalan nafas karena preparat ini melawan baik edema mukosa maupun spasme muskular dan membantu baik dalam mengurangi obstruksi jalan nafas maupun dalam memperbaiki pertukaran gas. Medikasi ini mencakup agonis betha-adrenergik (metaproterenol, isoproterenol dan metilxantin (teofilin, aminofilin), yang menghasilkan dilatasi bronkial melaui mekanisme yang berbeda. Bronkodilator mungkin diresepkan per oral, subkutan, intravena, per rektal atau inhalasi. Medikasi inhalasi dapat diberikan melalui aerosol bertekanan, nebuliser balon-genggam, nebuliser dorongan-pompa, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
2.    Terapi aerosol
Aerosolisasi (proses membagi partikel menjadi serbuk yang sangat halus) dari bronkodilator salin dan mukolitik sering kali digunakan untuk membantu dalam bronkodilatasi. Ukuran partikel dalam kabut aerosol harus cukup kecil untuk memungkinkan medikasi dideposisikan dalam-dalam di dalam percabangan trakeobronkial. Aerosol yang dinebuliser menhilangkan bronkospasme, menurunkan edema mukosa, dan mengencerkan sekresi bronkial. Hal ini memudahkan proses pembersihan bronkiolus, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi ventilasi.
3.    Pengobatan Infeksi
Pasien dengan emfisema sangat rentan terhadap infeksi paru dan harus diobati pada saat awal timbulnya tanda-tanda infeksi. S. Pneumonia, H. Influenzae, dan Branhamella catarrhalis adalah organisme yang paling umum pada infeksi tersebut. Terapi antimikroba dengan tetrasiklin, ampisilin, amoksisilin, atautrimetroprim-sulfametoxazol (bactrim) biasanya diresepkan. Regimen antimikroba digunakan pada tanda pertama infeksi pernafasan, seperti dibuktikan dengan sputum purulen, batuk meningkat, dan demam.
4.    Kortikosteroid
Kortikosteroid menjadi kontroversial dalam pengobatan emfisema. Kortikosteroid digunakan setelah tindakan lain untuk melebarkan bronkiolus dan membuang sekresi. Prednison biasa diresepkan. Dosis disesuaikan untuk menjaga pasien pada dosis yang terendah mungkin. Efek samping termasuk gangguan gastrointestinal dan peningkatan nafsu makan. Jangka panjang, mungkin mengalami ulkus peptikum, osteoporosis, supresi adrenal, miopati steroid, dan pembentukan katarak.
5.    Oksigenasi
Terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan emfisema berat. Hipoksemia berat diatasi dengan konsentrasi oksigen rendah untuk meningkatkan PaO2 hingga antara 65 – 85 mmHg. Pada emfisema berat oksigen diberikan sedikitnya 16 jam per hari, dengan 24 jam per hari lebih baik.
Penatalaksanaan  emfisema paru terbagi atas:
1)      Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2)      Pencegahan
a)      Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
b)      Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.
c)      Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3)      Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a.       Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b.      Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c.       Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
4)      Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

ASUHAN KEPERAWATAN

 I.       PENGKAJIAN
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
A.  Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi, pekerjaan pasien, dan nama penanggungjawab.
B.  Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering muncul pada pasien dengan penyakit emfisema bervariasi, antara lain: sesak nafas, batuk, dan nyeri  di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas. Banyak sekeret keluar ketika batuk, berwarna kuning kental, merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
2.    Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan penyakit emfisema biasanya diawali dengan sesak nafas , batuk, dan nyeri di daerah dada sebelah kanan pada saat bernafas, banyak secret keluar ketika batuk, secret berwarna kuning kental , merasa cepat lelah ketika melakukan aktivitas.
3.    Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan juga apakah pasien sebelumnya pernah menderita penyakit lain seperti TB Paru, DM, Asma, Kanker,Pneumonia dan lain-lain. Hal ini perlu diketahui untuk melihat ada tidaknya faktor predisposisi.
4.    Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama atau mungkin penyakit-penyakit lain yang mungkin dapat menyebabkan penyakit emfisema.
C.  Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
1.      Bernafas
Pasien  umumnya mengeluh sesak dan kesulitan dalam bernafas karena terdapat sekret.  Episode  batuk  hilang timbul,  biasanya  tidak produktif  pada tahap  dini,  meskipun  dapat  menjadi  produktif.  Faktor  keluarga  dan keturunan,  misalnya  defisiensi  alpha 1-antitripsin  penggunaan  oksigen  pada  malam hari  atau terus  menerus.
Tanda      : Pernafasan  biasanya  cepat,  dapat  lambat :  fase  ekspirasi  memanjang  dengan mendengkur, nafas bibir.  Penggunaan otot bantu pernafasan, 
misalnya : meninggikan bahu,  rekraksi  fosa  supra klavikula,  melebarkan  hidung.
Dada       : Dapat  terlihat  hiperinflasi  dengan peninggian  diameter  AP (bentuk  barrel),  atau  perbandingan diameter. AP  sama   dengan  diameter  bilateral,  gerakan  diafragma  minimal.
Bunyi  nafas :  mungkin  redup  dengan ekspirasi  mengi.
Perkusi :  Hipersonor  pada area paru.
Warna :  klien dengan emfisema kadang  disebut “pink  puffer”  karena  warna  kulit  normal,  meskipun pertukaran  gas  tidak  normal  dan  frequensi  pernafasan  cepat.     Taktil  premitus  melemah.
2.      Makan dan Minum
Observasi seberapa sering pasien makan dan seberapa banyak pasien menghabiskan makanan yang diberikan. Minum seberapa banyak dan seberapa sering pasien minum.
3.      Eliminasi
Observasi BAB dan BAK pasien, bagaimana BAB atau BAK nya normal atau bermasalah, seperti dalam hal warna feses /urine, seberapa sering, seberapa banyak, cair atau pekat, ada darah tau tidak,dll.
4.      Gerak dan Aktivitas
Observasi apakah pasien masih mampu bergerak, melakukan aktivitas atau hanya duduk saja(aktivitas terbatas). Biasanya pasien dengan anemia mengalami kelemahan pada tubuhnya akibat kurangnya suplai oksigen ke jaringan tubuh.
5.      Istirahat dan tidur
Kaji kebutuhan/kebiasaan tidur pasien apakah nyenyak/sering terbangun di sela-sela tidurnya.
6.      Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus dibantu oleh orang lain. Berapa kali pasien mandi ?
7.      Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C), hiperpireksia = 40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.
8.      Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Pasien dengan penyakit emfisema biasanya mengalami sesak nafas, batuk, dan nyeri di daerah dada.
9.      Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakitnya.
10.  Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakah pasien mampu berkomunikasi dengan keluarganya, seberapa besar dukungan keluarganya.
11.  Prestasi dan Produktivitas
Prestasi apa yang pernah diraih pasien selama pasien berada di bangku sekolah hingga saat usianya kini.
12.  Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kalipasien sembahyang, dll.
13.  Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja meluangkan waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik yang tepat saat depresi.
14.  Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi mual yang dirasakan dan caranya meningkatkan nafsu makannya.Disinilah peran kita untuk memberikan HE yang tepat.

D.  Pemeriksaan Fisik
1.    Rambut dan hygene kepala
Warna rambut hitam, tidak berbau, rambut tumbuh subur, dan kulit kepala bersih.
2.    Mata ( kanan/kiri )
Posisi mata simetris, konjungtiva merah muda, skelera putih, dan pupil isokor, dan respon cahaya baik.
3.    Hidung
Simetris kiri dan kanan, tidak ada pembengkakkan, dan berfungsi dengan baik.
4.    Mulut dan tenggorokan
Rongga normal, mukosa terlihat pecah-pecah, tonsil tidak ada pembesaran.
5.    Telinga
Simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, dan pendengaran tidak terganggu.
6.    Leher
Kelenjer getah bening, sub mandibula, dan sekitar telinga tidak ada pembesaran.
7.    Dada/ thorak
a.     Inspeksi
Pada klien dengan emfisema terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai bentuk dada barrel chest (akibat udara yang terperangkap), penipisan massa otot, dan pernapasan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan abnormal tidak efektik dan penggunaan otot-otot bantu napas (sternokleidomastoideus). Pada tahap lanjut, dispnea terjadi saat aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum purulen disertai demam mengindikasi adanya tanda pertama infeksi pernapasan
b.    Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun.
c.      Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diafragma menurun.
d.    Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronkhi dan wheezing sesuai tingkat beratnya obstruktif pada bronkhiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi (hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya, bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan (dispnea eksersional). Paru yang mengalami emfisematosa tidak berkontraksi saat ekspirasi dan bronkhiolus tidak dikosongkan secara efektif dari sekresi yangf dihasillkan. Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang berkepanjangan saat ekspirasi. Anoreksia, penurunan berat badan, dan kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis mungkin mengalami distensi selama ekspirasi.
8.    Kardiovaskular
a.    Irama jantung  regular; S1,Stunggal.
b.    Nyeri dada ada, biasanya skala 6 dari 10
c.    Akral  lembab
d.   Saturasi Hb O2  hipoksia
9.    Persyarafan
a.    Keluhan pusing ada
b.    Gangguan tidur ada
10.    Perkemihan B4 (bladder)
a.    Kebersihan normal
b.    Bentuk alat kelamin normal
c.    Uretra normal
11.    Pencernaan
a.    Anoreksi disertai mual
b.    Berat badan menurun
12.    Muskuloskeletal/integument
a.    Berkeringat
b.    Massa otot menurun
E.     Data Penunjang
1.      Analisa gas darah
- Pa O2         : rendah (normal 80 – 100 mmHg)
- Pa CO2       : tinggi (normal 36 – 44 mmHg).
- Saturasi hemoglobin menurun.
- Eritropoesis bertambah
2.     Sputum      : Kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen
3.      Tes fungsi paru : Untuk menentukan penyebab dispnoe, melihat obstruksi.
4.     Foto sinar X rontgen

 II.         DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Ketidakefektifan pola napas
Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi  ventilasi adekuat
Berhubungan dengan :
-       Ansietas
-       Posisi tubuh
-       Deformitas tulang
-       Deformitas dinding dada
-       Keletihan
-       Perventilasi
-       Sindrom hipoventilasi
-       Gangguan muskuloskeletal
-       Kerusakan neurologis
-       Imaturitas neurologis
-       Disfungsi neuromuskular
-       Obesitas
-       Nyeri
-       Keletihan otot pernapasan
-       Cedera medula spinalis
Ditandai dengan :
-       Perubahan kedalaman pernapasan
-       Perubahan ekskursi dada
-       Mengambil posisi tiga titik
-       Bradipnea
-       Penurunan tekanan ekspirasi
-       Penurunan tekanan inspirasi
-       Penurunan ventilasi semenit
-       Penurunan kapasitas vital
-       Dispnea
-       Peningkatan diameter anterior- posterior
-       Pernapasan cuping hidung
-       Ortopnea
-       Fase ekspirasi memanjang
-       Pernapasan bibir
-       Takipnea
-       Penggunaan otot aksesorius untuk pernapasan
2.      Gangguan pertukaran gas
Definisi : kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan/atau eliminasi karbondioksida pada membran alveolar-kapiler
Berhubungan dengan :
-       Perubahan membran alveolar-kapiler
-       Ventilasi-perfusi
Ditandai dengan
-       PH darah arteri abnormal
-       pH arteri abnormal
-       pernapasan abnormal (mis, kecepatan, irama,kedalaman,)
-       warna kulit abnormal (mis, pucat, kehitaman)
-       Konfusi
-       Sianosis ( pada neonatus saja)
-       Penurunan karbon dioksida
-       Diaforesis
-       Dispnea
-       Sakit kepala saat bangun
-       Hiperkapnea
-       Hipoksemia
-       Hipoksia
-       Iritabilitas
-       Napas cuping hidung
-       Gelisah
-       Somnolen
-       Takikardia
-       Gangguan penglihatan
3.      Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
Berhubungan dengan:
-       Factor biologis
-       Factor ekonomi
-       Ketidakmampuan untuk mengabsorbsi utrient
-       Ketidakmampuan untuk mencerna makanan
-       Ketidakmampuan menelan makanan
-       Factor psikologis
Ditandai dengan:
-       Kram abdomen
-       Nyeri abdomen
-       Menghindari makan
-       Merasakan ketidakmampuan untuk mengingesti makanan
-       Melaporkan perubahan sensasi rasa
-       Melaporkan kurangnya makanan
-       Merasa kenyang segera setelh mengigesti makanan
-       Objektif
-       Tidak tertarik untuk makan
-       Kerapuhan kapiler
-       Diare dan/atau steatore
-       Adanya bukti kekurangan makanan
-       Kehilangan rambut yang berlebihan
-       Bising usus hiperaktif
-       Kurang informasi, malinformasi
-       Kurangnya minat pada makanan
-       Miskonsepsi
-       Konjungtiva dan membrane mukosa pucat
-       Tonus otot buruk
-       Luka, rongga mulut inflamasi
-       Kelemahan otot yang dibutuhkn untuk menelan atau mengunyah
4.       Intoleran Aktivitas
Berhubungan dengan :
-        Kelemahan umum
-       Ketidakseimbangan antara suplai dam kebutuhan oksigen
Ditandai dengan
-       Laporan verbal tentang keletihan atau kelemahan
-       Frekuensi jantung atau respons TD terhadap aktivitas abnormal
-       Rasa tidak nyaman saat bergerak atau dipsnea
-       Perubahan-perubahan EKG mencerminkan iskemia;distrimia


5.      Risiko tinggi terhadap infeksi
Faktor risiko :
-       Tidak adekuatnya pertahanan utama (penurunan kerja silia, menetapnya sekret)
-       Tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan)
-       Proses penyakit kronis
-       Malnutrisi
6.      Koping individu inefektif
Berhubungan dengan :
-       Krisis situasional/maturasional
-       Perubahan hidup beragam
-       Relaksasi tidak adekuat
-       Sistem pendukung tidak adekuat
-       Sedikit atau tak pernah olah raga
-       Nutrisi buruk
-       Harapan yang tak terpenuhi
-       Kerja berlebihan
-       Persepsi tidak realistik
-       Metode koping tidak efektif
Ditandai dengan
-       Menyatakan ketidakmampuan untuk mengatasi dan meminta bantuan
-       Ketidakmampuan untuk memenuhi harapan peran/kebutuhan dasar atau pemecahan masalah
-       Perilaku merusak terhadap diri sendiri, makan berlebih, hilang napsu makan, merokok/minum berlebihan, cenderung melakukan penyalahgunaan alkohol
-       Kelemahan/insomia kronik, ketegangan oto, sering sakit kepala/leher, kekuatiran/gelisah/cemas/tegangan emosi kronik, depresi.

 III.            RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
a.       Ketidakefektifan pola napas
Intervensi
1)      Membandingkan status sekarang dengan status sebelumnya untuk mendapatkan perubahan dalam status pernapasan. NIC:  Asthma management
Rasional  : Untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien
2)      Mengajarkan teknik yang benar untuk menggunakan obat dan peralatan (misalnya menarik nafas, nebulizer, aliran maksimum).
Rasional : Agar keluarga dan pasien mengetahui cara menggunakan peralatan dan obat dengan benar.
3)      Memantau kecepatan, irama, kedalaman, dan upaya untuk bernapas.
Rasional : Untuk mengetahui apakah px masih mengalami kesulitan bernafas
4)      Mengamati gerakan dada, termasuk simetri, penggunaan dari otot bantu pernapasan, dan penarikan otot supraclavikular dan intercostals.
Rasional : Untuk mengetahui perkembangan penyakit px
5)      Memberikan cairan hangat untuk minum, dengan tepat.
Rasional : Untuk mengurangi gejala batuk
6)      Catat adanya pergerakan dada, lihat pergerakan dada yang asimetris, menggunakan otot bantu dan retraksi otot supraklavikular serta intercosta
Rasional : Ketidaksimetrisan pada dada dan penggunaan otot bantu pernapasan pada pasien mengindikasikan adanya gangguan pernapasan
7)      Monitor kemampuan pasien untuk batuk efektif
Rasional :  Batuk efektif dapat membantu mengeluarkan dahak bila ada
8)      Memberitahukan tentang diagnosis, pengobatan, dan pengaruh dari gaya hidup.
Rasional : Agar px mengetahui penyakitnya, pengobatan yang harus dijalani, penyebabnya agar px dapat mengubah gaya hidupnya.
9)      Membantu dalam mengenal tanda/gejala dari reaksi asthma mendatang dan pelaksanaan dari ketepatan pengukuran respon.
Rasional : Menghindari faktor predisposisi yang dapat meningkatkan gejala asma.
10)  Melatih pernapasan /relaksasi.
Rasional : Untuk membantu pasien memulai pernapasan secara normal
11)  Menentukan dan memperbarui pengobatan asthma,dengan tepat.
Rasional :  Memberikan pengobatan yang tepat sesuai perkembangan penyakit pasien
12)  Monitor RR, irama, kedalaman, dan usaha respirasi
Rasional : Untuk mengetahui frekuensi pernafasan sudah normal apa belum
13)  Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Rasional : Untuk mengetahui ada kelainan pada saluran pernapasan
14)  Monitor tingkat kegelisahan, kecemasan
Rasional : Kecemasan dan kegelisahan dapat memacu terjadinya sesak
b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan
Intervensi 
1)      Kaji  frequensi  kedalaman  pernafasan  catat  penggunaan otot  bantu  nafas,  nafas  bibir.
Rasional : Berguna  dalam evaluasi  derajat  distres  pernafasan  dan/atau kronisnya  proses  penyakit.
2)      Kaji/awasi  secara rutin  warna kulit  dan membran  mokusa.
Rasional : Sianosis  mungkin  perifer  atau  sentral  mengindikasikan beratnya  hipoksemia.
3)      Tinggikan  kepala bantu  klien  untuk memilih  posisi yang mudah  untuk  bernafas,  dorong  nafas  dalam perlahan atau nafas  bibir  sesuai  kebutuhan  individu.
Rasional : Pengiriman oksigen dapat  diperbaiki dengan posisi duduk tinggi dan latihan nafas  untuk  menurunkan  kolaps  jalan nafas  dan kerja  nafas.
4)       Auskultasi bunyi  nafas,  catat  area  penurunan aliran udara  atau  bunyi  abnormal.
Rasional : Bunyi  nafas  mungkin redup  karena  penurunan  aliran udara. Adanya  mengindikasi  spasme bronkus/tertahannya  sekret.
5)      Awasi  tingkat   kesadaran/status  mental.
Rasional : Gelisah dan ansietas adalah manifestasi  umum pada hipoksia. GDA  memburuk  disertai  bingung/samnolen  menunjukkan  disfungsi  serebral yang  berhubungan  dengan hipoksemia.
6)      Palpasi  fremitus.
Rasional : Penurunan  getaran  fibrasi  diduga  adanya pengumpulan cairan atau udara  terjebak.
7)      Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi aktivitas pasien atau dorong untuk tidur/istirahat di kursi selama fase akut. Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan toleransi sesuai aktivitas individu
Rasional : selama distres pernapasan berat/akut/refraktori pasien secara total tak mampu melakukan aktivitas sehari-hari karena hipoksia dan dispnea. Istirahat diselingi aktivitas perawatan masih penting dari program pengobatan. Namun, program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
8)   Awasi   GDA.
Rasional : PaCO2  biasanya  meningkat  dan  PaO2 secara  umum  menurun,  sehingga  hipoksemia  terjadi  dengan derajat  lebih besar  atau lebih kecil.
9)      Berikan  O2  tambahan  yang sesuai  dengan indikasi   hasil  GDA  dan toleransi  pasien.
Rasional : Dapat  memperbaiki/mencegah  memburuknya  hipoksia.
10)  Bantu  intubasi
Rasional : Terjadinya/kegagalan  nafas  yang  akan datang  memerlukan upaya  tindakan  penyelamatan  hidup.
c.       Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi :
1)      Kaji  kebiasaan  diet,  masukan  makanan,  catat  derajat  kesulitan  makan. Evaluasi  berat badan.
Rasional :Pasien distres pernafasan  akut  sering  anoreksia  karena dispneu,  produksi  sputum  dan obat,  selain  itu banyak  klien  PPOM  mempunyai  kebiasaan  makan buruk.  Orang yang  mengalami  emfisema  sering  kurus  dengan perototan kurang.
2)      Auskultasi  bunyi   bising  usus.
Rasional : Penurunan/hipoaktif  bising  usus  menunjukkan mobilitas gaster  dan  konstipasi (komplikasi  umum)  yang berhubungan dengan pilihan  makan yang buruk,  penurunan  aktivitas  dan hipoksemia.
3)      Berikan  perawatan  oral  sering,  buang  sekret.
Rasional  :Rasa  tak enak bau  dan penampilan adalah pencegah  utama terhadap  nafsu  makan dan dapat  membuat  mual dan muntah  dengan peningkatan  kesulitan  nafas.
4)      Dorong  periode  istirahat  selama 1  jam sebelum  dan sesudah makan.  Berikan  makanan posisi  kecil  tapi  sering.
Rasional : Membantu  menurunkan kelemahan  selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatan masukan kalori total.
5)      Hindari  makanan  yang sangat  panas  atau  sangat  dingin.
Rasional : Suhu ekstrim  dapat mencetuskan/meningkatkan  spasme  batuk.
6)       Konsul  ahli  gizi/nutrisi  untuk memberikan  makanan yang mudah dicerna,  secara  nutrisi  seimbang.
Rasional :Metode  makan  dan  kebutuhan  kalori  berdasarkan  pada situasi/kebutuhan  individu  untuk memberikan  nutrisi  maksimal  dengan upaya  klien/penggunaan  energi.
7)      Kaji  pemeriksaan  laboratorium.  Berikan  vitamin/mineral/ elektolit  sesuai  indikasi.
Rasional : Mengevaluasi/mengatasi   kekurangan  dan  keefektifan  tetap nutrisi.
8)      Beri  O2  tambahan  selama  makan  sesuai  indikasi.
Rasional : Menurunkan dispneu  dan meningkatkan  energi  untuk makan.
d.      Resiko  tinggi  terhadap  infeksi 
Intervensi
1)      Awasi  secara  ketat  suhu  tubuh  pasien.
Rasional : Demam  dapat terjadi  karena adanya  infeksi.
2)      Kaji  pentingnya  latihan  nafas,  batuk  efektif,  perubahan  posisi  sering  dan  masukan  cairan  adekuat.
Rasional : Aktivitas diatas dapat  meningkatkan mobilitas  dan pengeluaran sekret  untuk  menurunkan  resiko  terjadinya  infeksi  paru.
3)      Observasi  warna,  karakter,  bau  sputum.
Rasional : Sekret  berbau,  kuning  dan  kehijauan  menunjukkan  adanya  infeksi  paru.
4)      Dorong  keseimbangan  antara  aktivitas  dan istirahat.
Rasional : Menurunkan  konsumsi/kebutuhan  keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan  klien  terhadap  infeksi  meningkatkan  penyembuhan.
5)      Diskusikan  kebutuhan masukan  nutrisi  adekuat.
Rasional : Malnutrisi  dapat mempengaruhi  kesehatan  umum dan menurunkan  tahanan terhadap  infeksi.
6)      Dapatkan  spesimen  sputum  dengan batuk  atau  penghisapan untuk  pewarnaan  kuman,  gram, kultur  sensitivitas.
Rasional : Dilakukan  untuk mengidentifikasi  organisme  penyebab  dan kerentanan  terhadap  berbagai  anti mikrobial.
7)      Berikan  antimikrobial/antibiotik  sesuai  indikasi.
Rasional : Dapat  diberikan  pada organisme  khusus yang terindentifikasi dengan  kultur  dan sensitivitas, atau  diberikan  secara profilatik  karena resiko  tinggi.
e.       Intoleransi  aktivitas 
Intervensi 
1)      Jelaskan  aktivitas  dan faktor  yang  meningkatkan  kebutuhan  oksigen :  merokok,  suhu  yang  ekstrim,  stres.
Rasional :Merokok  suhu  ekstrim,  dan stress  menyebabkan  vasokontriksi yang meningkatkan  beban  kerja  jantung  dan kebutuhan oksigen.
2)      Secara bertahap  tingkatkan aktivitas  harian  sesuai  peningkatan toleransi  klien.
Rasional : Mempertahankan  pernafasan  lambat  sedang  dari  latihan  yang  diawasi  memperbaiki  kekuatan  otot  asesori  dan  fungsi  pernafasan.
3)      Pertahankan  terapi  oksigen  tambahan,  sesuai  kebutuhan.
Rasional : Oksigen  tambahan  meningkatkan  kadar  oksigen  yang bersirkulasi  dan memperbaiki  toleransi  aktivitas.
4)      Berikan  dukungan  emosional  dan semangat.
Rasional : Rasa  takut  terhadap  kesulitan  bernafas  dapat menghambat  peningkatan  aktivitas.
f.    Koping Individu Inefektif
Intervensi :
1)      Kaji kefektifan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, mis., kemampanmenyatakan perasaan dan perhatian keinginan berpartisipasi dalam rencana pengobatan.
Rasional : mekanisme adaptif perlu untuk mengubah pola hidup seseorang, mengtasi hipertensi kronik, dan mengintregrasikan terapi yang diharuskan ke dalam kehidupan sehari-hari
2)      Dorong pasien untuk mengevaluasi prioritas/tujuan hidup. Tanyakan seperti apakah yang anda lakukan merupakan apa yang anda inginkan?
Rasional : foks perhatian pasien pada realitas situasi yang ada relative terhadap pandangan pasien tentang apa yang diinginkan. Etika kerja keras, kebutuhan untuk control dan focus keluarga dapat mengarah pada kurang perhatian pada kebutuhan-kebutuhan personal.
3)      Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mulai merncanakan perubahan hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan, ketimbang membatalkan tujuan diri/keluarga.
Rasional : perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya


DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2011.LP Asma. (dalam http://askepreview.wordpress.com/2011/07/13/lp-asma/. Diakses tanggal 17 September 2013 (16:30).
Brunner & Suddarth.2001. Keperawatan Medikal Bedah Jilid 1. Jakarta : EGC
Doenges. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakara : EGC
Hudack&gallo(1997). Keperawatan Kritis Edisi VI Vol I. Jakarta. EGC.
NANDA Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran. EGC
Nanda NIC-NOC.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Edisi Revisi Jilid 1. Jakarta : ECG
Purnomo.2008. Faktor Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Asma Bronkial Pada Anak  (Studi Kasus Di Rs Kabupaten Kudus). (dalam http://eprints.undip.ac.id/18656/1/P_U_R_N_O_M_O.pdf).Diakses tanggal 17 September 2013 ( 16:10)
Smeltzer, C . Suzanne,dkk.2002.Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta :EGC


Demikianlah Artikel LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA

Sekianlah artikel LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel LAPORAN PENDAHULUAN EMFISEMA dengan alamat link https://askep-nursing.blogspot.com/2014/11/laporan-pendahuluan-emfisema.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar